Ketika orang banyak melakukan berbagai aktivitas dalam keseharian maka
ada sebagian orang yang tidak bisa meninggalkan kebiasaan membaca. Padahal
tidak semua orang memiliki kebiasaan membaca sekalipun memiliki banyak waktu.
Maka telaah ini perlu dibahas dengan berbagai aspek tinjauan, dan
berbagai impact dari perilaku masyarakat gemar membaca dan masyarakat yang
tidak terbiasa membaca, ataupun impact bagaimana kalau ada pemaksaan untuk
membiasakan membaca.
Cara dan strategi yang dibangun ditingkat masyarakat akan mempengaruhi
hasil yang akan diperoleh setalah 3 sampai 5 tahun mendatang. Tidak bisa dampak
social terlihat dalam waktu singkat apabila tujuan merubah masyarakat non
literasi menjadi literasi, bahkan mungkin saja masyarakat yang ileterasi (tidak
mau membaca). Budaya vocal atau bertutur masyarakat yang terbentuk sejak dulu
sulit kalau secara instan dirubah menjadi masyarakat gemar membaca apalagi
sampai pada tingkatan masyarakat yang bisa mendokumentasikan dengan baik segala
peristika, kejadian dengan tulisan.
Manfaat Membaca Dalam Kehidupan (tulisan diambil dari internet)
Pada dasarnya membaca adalah salah satu media penyerapan ilmu
pengetahuan dan informasi, karena kemampuan baca yang tinggi akan memacu
seseorang untuk mengembangkan diri melalui penyerapan ilmu pengetahuan,
teknologi dan budaya. Membaca juga merupakan kegiatan yang memberdayakan
beberapa indra secara bersamaan, karena melalui membacalah maka ilmu dapat
direkam lebih banyak dan lebih lama. Secara umum manfaat dari membaca adalah :
a. Menambah dan memperluas wawasan dan pengetahuan
b. Memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah
c. Mempertajam tingkat pemikiran
d. Memiliki sikap obyektif terhadap masalah
e. selalu mementingkan fakta dan informasi
Minat baca memang belum didefinisikan secara tegas dan jelas. Namun
Prof. A. Suhaenah Suparno dari IKIP Jakarta memberi petunjuk mengenai hal ini
yaitu tinggi rendahnya minat baca seseorang seharusnya diukur berdasarkan
frekuensi dan jumlah bacaan yang dibacanya. Namun perlu ditegaskan bahwa bacaan
itu bukan merupakan bacaan wajib. Misalnya bagi pelajar, bukan buku pelajaran
sekolah. Jadi seharusnya diukur dari frekuensi dan jumlah bacaan yang dibaca
dari jenis bacaan tambahan untuk berbagai keperluan misalnya menambah
pengetahuan umum.
Meningkatkan Budaya Baca
Upaya Peningkatan Minat Baca
Sesungguhnya sejak tahun 1972 UNESCO telah memprioritaskan masalah
pembinaan minat baca. Pada tahun tersebut diluncurkan program yang disebut
dengan program buku untuk semua (books for all), yang bertujuan untuk
meningkatkan minat dan budaya baca masyarakat. Salah satu implementasi program
ini adalah dicanangkan International Book Year 1972 (Tahun Buku Internasional
1972).
3. Issu yang Berkaitan dengan Gemar Membaca
Ketidak-mampuan Membaca (Buta Aksara)
Data dari UNESCO menyatakan bahwa sekitar 1,35 milyar penduduk dunia
atau sekitar sepertiga penduduk dunia mengalami buta aksara. Sebagian besar
buta aksara tersebut dialami oleh wanita atau 1 : 2 antara pria buta aksara
dengan wanita. Sebagian besar penduduk buta aksara tersebut adalah penduduk
negara dunia ketiga.
Hingga kini, jumlah penduduk Indonesia buta aksara tergolong masih
relatif tinggi. Setelah hampir 60 tahun merdeka, pemberantasan buta huruf masih
juga belum tuntas. Data Badan Pusat Statistik 2003 menunjukkan, penduduk buta
aksara usia 10 tahun ke atas masih tercatat 9,07 persen atau sekitar 15,5 juta,
tersebar di seluruh provinsi (Republika Online, 17 Desember 2004).
Mengapa hingga kini jumlah penduduk buta aksara masih tinggi? Direktur
Pendidikan Masyarakat, Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Depdiknas,
Ekodjatmiko Soekarso, mengungkapkan sejumlah pangkal soalnya. Dia menyatakan,
dalam setiap tahun masih terus terjadi adanya siswa usia sekolah dasar yang
tidak sekolah atau tidak tertampung di SD kelas 1, 2, dan 3 sekitar 200.000 –
300.000 orang yang disinyalir kembali buta aksara.
Kondisi Pendidikan di Indonesia
Selain jumlah sekolah yang tidak dapat menampung seluruh anak usia
sekolah, program di sekolahpun kurang mendukung anak untuk mempunyai kebiasaan
membaca. Taufiq Ismail pada tahun 1997 meneliti program membaca dari 13 SMA di
dunia mendapatkan hasil yang sangat menyedihkan. Menurut Taufiq Ismail sejak
tahun 1943 sampai sekarang tidak satupun SMA Indonesia yang mewajibkan siswanya
membaca buku roman. Wajib disini dalam arti kewajiban membaca buku tersebut
masuk dalam kurikulum sekolah. Guru memerintahkan siswanya untuk membaca buku,
kemudian guru tersebut mewajibkan siswanya untuk membuat ringkasan dan menguji
muridnya.
Kondisi Perbukuan Indonesia
Menurut Soekarman Kartosedono (1992), dalam zaman modern dewasa ini
perkembangan ekonomi dan pembangunan suatu negara bukan hanya diukur dari
tingkat pendapatan (GNP) masyarakat saja tetapi juga dilihat dari tingkat baca
tulis, konsumsi kertas, buku dan perkembangan literatur masyarakat. Hal ini
tidaklah mengherankan karena sejak dahulu kala, buku telah membuktikan fungsi
dan peranannya yang sangat efektif sebagai sarana pendidikan dan pranata ilmu
pengetahuan. Buku selain merupakan wahana untuk menampilkan dan memelihara
warisan peradaban bangsa, juga berperan sebagai alat ampuh untuk menyebarkan
budaya tersebut kepada masyarakat.
Sebuah penelitian mengenai perbukuan bidang sains pernah dilakukan pada
tahun 1982 dibiayai oleh Badan Pertimbangan Pengembangan Buku Nasional, dengan
kesimpulan antara lain :
Jumlah buku sains yang diterbitkan antara 1972 – 1981 berjumlah 2.233
judul untuk pembaca dari berbagai tingkat pendidikan.
Pada umumnya penerbit, terutama penerbit komersial, belum memperlihatkan
prestasi yang memadai dalam menerbitkan judul-judul buku sains.
Penelitian yang sama dilakukan untuk bidang teknologi, dengan kesimpulan
antara lain:
Jumlah buku teknologi yang diterbitkan antara tahun 1972 – 1981
berjumlah 4.942 judul, 67,2 % diantaranya adalah buku teknologi pertanian.
Ditinjau dari segi pelakunya, diperoleh kesimpulan bahwa dari seluruh
terbitan bidang teknologi, 23 % diterbitkan oleh penerbit universitas, dan 49,1
% oleh departemen dan lembaga-lembaga negara.
Satu lagi penelitian yang sama juga dibiayai oleh Badan Pertimbangan
Pengembangan Buku Nasional menyangkut buku bacaan anak-anak (tingkat SD).
Kesimpulan dari penelitian itu antara lain:
Jumlah buku anak-anak yang terbit antara tahun 1971 – 1980 adalah 5.519
judul, lebih kurang 50 % diantaranya adalah buku-buku fiksi.
Sekitar 22 % dari terbitan buku anak-anak adalah karya terjemahan dan
atau adaptasi.
Setelah itu, sangat jarang diadakan survei yang komprehensif mengenai
perbukuan di Indonesia. Pada masa krisis ekonomi, dari jumlah penerbit yang
masih aktif menjadi anggota IKAPI, sekitar 15 persen hanya bergantung kepada
buku stok atau cetak ulang buku yang diperkirakan masih dicari orang di pasar.
Perusahaan penerbitan yang benar-benar masih aktif menerbitkan buku dan judul
baru tinggal 10 persen. Akibatnya, produksi buku pada sekitar tahun 2000
merosot tajam, yakni dari sekitar 5.000-6.000 judul per tahun tingal sekitar
2.000 judul saja per tahun.
Penelitian terakhir dilakukan oleh Perpustakaan Nasional RI (2004)
menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:
Publikasi Indonesia selama tahun 2002 dan 2003 adalah sebesar 12.709
judul buku yang terdiri dari 6.656 judul buku (52,4 %) diterbitkan pada tahun
2002 dan sebanyak 6.053 judul buku (47,6 %) diterbitkan pada tahun 2003.
Buku-buku tersebut diterbitkan oleh 1.977 penerbit baik penerbit
komersial (sebanyak 1169 penerbit atau 59,13 %) maupun penerbit non komersial
(sebanyak 808 atau 40,87 %) seperti lembaga pemerintah dan swasta serta
perguruan tinggi non penerbit universitas.
Dari lima kota besar (ibukota propinsi di Jawa), kota yang paling banyak
menerbitkan buku adalah Jakarta (61,27 %), kemudian diikuti oleh Yogyakarta
(15,56 %), Bandung (8, 20 %), Surabaya (1,27 %), dan Semarang (0,71 %). Hal ini
sesuai dengan jumlah penerbit (komersial) yang ada di kota-kota tersebut dengan
jumlah masing-masing sebagai berikut: Jakarta sebanyak 643 penerbit, Yogyakarta
sebanyak 192 penerbit, Bandung sebanyak 107 penerbit, Surabaya sebanyak 44
penerbit, dan Semarang sebanyak 19 penerbit. Jumlah terbitan yang rata-rata
6.000 – 7.000 judul per tahun ini masih terbilang kecil dibanding Jepang atau
Thailand yang mencetak 68.000-70.000 judul per tahun (Kompas, 17/5-2004).
Sebagai perbandingan data perbukuan dari negara Korea, negara yang terpilih
sebagai Guest of Honor Frankfurt Book Fair 2005, mungkin berguna Saat ini, di
bidang industri perbukuan, Korea mengandalkan pada produksi buku untuk
anak-anak, termasuk di dalamnya komik. Berdasarkan data judul buku yang
diterbitkan pada tahun 2002, buku bacaan anak menempati urutan kedua, yaitu 17
persen dari total judul buku. Tempat pertama adalah komik, yaitu 25 persen dari
total judul buku yang terbit pada tahun 2002 (Kompas, 18/10-2003).
Pendidikan Seumur Hidup
Dengan keadaan pendidikan formal seperti sekarang ini akan banyak
penduduk Indonesia yang tidak dapat mengenyam pendidikan. Pemerintah memang
sudah berusaha untuk meningkatkan daya tampung sekolah formal seperti yang
dilakukan pemerintahan Soeharto dengan program SD Inpres, kemudian program
Wajib Belajar 9 tahun, sekolah (SMP) terbuka dan sebagainya. Namun semua itu
belum dapat menampung semua anak usia sekolah. Selain memang daya tampung
sekolah yang belum dapat dipenuhi, ada masalah lain yaitu kemiskinan. Banyak
penduduk miskin yang tidak mau menyekolahkan anaknya ke sekolah formal walaupun
gratis, karena anak buat mereka adalah “mesin uang” yang harus bekerja membantu
orang tuanya mencari nafkah.
Jalan keluar untuk mendidik anak-anak putus sekolah tersebut adalah
pendidikan seumur hidup (life-long education). Pendidikan ini bisa dilakukan
melalui Kejar paket atau Kelompok Belajar Paket A dan Paket B. Bahkan ada Paket
C. Pendidikan ini juga dapat dilakukan melalui kelompok ibu-ibu PKK, Karang Taruna
dan lain-lain.
Perpustakaan, khususnya perpustakaan umum, merupakan unit yang melayani
kebutuhan informasi masyarakat umum sepanjang masa. Karena fungsinya tersebut
maka perpustakaan umum dikenal sebagai salah satu unit yang menyelenggarakan
pendidikan seumur hidup (life-long education). Oleh karena itu Perpustakaan
Umum diharapkan dapat mengembangkan layanan yang mendukung pendidikan seumur
hidup tersebut dengan program-program peningkatan layanan sehingga dapat
memasyarakatkan gemar membaca dan gemar belajar.
4. Upaya Pemecahan Masalah
Tingkat minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah dibandingkan
dengan tingkat minat baca masyarakat bangsa lain. Pernyataan negatif pesimistis
ini sering muncul dan diulang-ulang dalam berbagai laporan hasil penelitian dan
pendapat para pakar yang dituangkan dalam berbagai tulisan atau pun disampaikan
dalam beragam pertemuan ilmiah. Bunanta (2004) menyebutkan bahwa minat baca
terutama sangat ditentukan oleh:
1. Faktor lingkungan keluarga dalam hal ini misalnya kebiasaan membaca
keluarga di lingkungan rumah
2. Faktor pendidikan dan kurikulum di sekolah yang kurang kondusif.
3. Faktor infrastruktur dalam masyarakat yang kurang mendukung peningkatan
minat baca masyarakat.
4. Serta faktor keberadaan dan keterjangkauan bahan bacaan.
Sementara itu dipahami bahwa terdapat hubungan antara minat baca dengan
tingkat kecepatan pemahaman bacaan bagi peserta didik.
Faktor selanjutnya yang juga sangat berpengaruh adalah pendidikan di
sekolah dan lingkungan tempat tinggal. Pendidikan di sekolah mendorong anak
membaca karena tuntutan pelajaran. Sementara, lingkungan turut mendorong minat
baca karena seorang anak melakukan kegiatan sesuai yang dilakukan orang-orang
di sekelilingnya. Anak menjadi rajin membaca jika masyarakat di sekitarnya
melakukannya.
Prof. Dr. Ki Supriyoko, M.Pd. dalam tulisannya dengan judul “Minat Baca
dan Kualitas Bangsa” di Harian Kompas Selasa, 23 Maret 2004, menyatakan: “
Secara teoritis ada hubungan yang positif antara minat baca (reading interest)
dengan kebiasaan membaca (reading habit) dan kemampuan membaca (reading
ability). Rendahnya minat baca masyarakat menjadikan kebiasaan membaca yang
rendah, dan kebiasaan membaca yang rendah ini menjadikan kemampuan membaca
rendah. Itulah yang sedang terjadi pada masyarakat kita sekarang ini.”
Faktor-faktor berikut ditengarai menghambat peningkatan minat baca dalam
masyarakat dewasa ini (Leonhardt, 1997):
Langkanya keberadaan buku-buku anak yang menarik terbitan dalam negeri
Semakin jarangnya bimbingan orang tua yang suka mendongeng sebelum tidur
bagi anak-anak. Padahal kebiasaan ini merupakan kebiasaanya jaman dulu banyak
dilakukan orang tua.
Pengaruh televisi yang bukannya mendorong anak-anak untuk membaca,
tetapi lebih betah menonton acara-acara televisi.
Harga buku yang semakin tidak terjangkau oleh kebanyakan anggota
masyarakat
Kurang tersedianya taman-taman bacaan yang gratis dengan koleksi buku
yang lengkap dan menarik.
Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan minat baca
Disamping pembinaan perpustakaan sekolah, hal yang tidak kalah
pentingnya untuk dilakukan dalam rangka meningkatkan minat baca adalah
kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan minat membaca. Kegiatan
tersebut dapat dikembangkan, dan sangat bergantung kepada kreativitas dan
inisiatif tenaga pendidik di sekolah. Beberapa kegiatan yang dianjurkan adalah:
Agar guru pustakawan menerbitkan daftar buku anak-anak
Mengundang pustakawan dan para guru agar beerjasama dalam merencanakan
kegiatan promosi minat baca.
Mengorganisasi lomba minat baca di sekolah.
Memilih siswa teladan yang telah membaca buku terbanyak.
Melaksanakan program wajib baca di sekolah.
Menjalin kerjasama antar perpustakaan sekolah.
Memberikan tugas baca setiap minggu dan melaporkan hasil bacaannya.
Menceritakan orang-orang yang sukses sebagai hasil membaca.
Menugaskan siswa untuk membuat abstrak dari buku-buku yang dibaca.
Menugaskan siswa belajar ke perpustakaan apabila guru tidak hadir.
Menerbitkan majalah/buletin sekolah.
Mengajarkan teknik membaca kepada siswa.
Memberikan waktu khusus kepada siswa untuk membaca.
Menyelenggarakan pameran buku secara periodik.
Dan lain-lain.
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE