Kurikulum
sains sangat menekankan pada penguasaan keterampilan ilmiah dan pemikiran,
pemahaman dasar prinsip, adopsi sikap ilmiah dan nilai-nilai moral melalui
pembelajaran yang berlaku terhadap pengalaman yang relevan untuk siswa
(Villalino, 2009). Tetapi, pada kenyataannya sekarang banyak sekolah-sekolah
yang menerapakan pembelajaran tradisional di mana guru mengontrol proses
pembelajaran sepenuhnya. Selain itu, guru memiliki kontrol dan tanggung jawab
dalam menentukan hasil pembelajaran, sedangkan siswa hanya menerima pengetahuan
dari guru (Novak & Krajcik, 2006). Hal ini tentu tidak sesuai dengan
kurikulum sains di mana peserta didik
harus menguasai keterampilan berfikir dan sikap ilmiah melalui
pengalaman yang relevan.
Menurut
King dan Ritchie (2012), proses berpikir yang menekankan kemampuan berfikir
yang tinggi memungkinkan siswa untuk
menguasai berbagai keterampilan kognitif yang meliputi keterampilan penalaran
kritis serta berfikir kreatif. Oleh karena itu, strategi utama yang dapat
diimplementasikan oleh guru untuk meningkatkan kemampuan kognitif peserta didik
adalah dengan menggunakan strategi pembelajaran berbasis kontekstual di mana
meningkatkan kemampuan berpikir siswa dengan beragam latar belakang peserta
didik (King, 2009). Smith (2001) menyatakan bahwa pengajaran dan pembelajaran
kontekstual sangat menekankan keterampilan berpikir tingkat tinggi,
pengetahuan, transfer pengetahuan, memilih belajar sesuai dengan konten dan
mensintesis informasi serta data dari berbagai sumber dan sudut pandang.
Menurut
Bruner (1960), struktur belajar tidak hanya fokus pada pengajaran dan belajar
tentang fakta-fakta, tetapi guru harus mengatur pelajaran mereka sehingga siswa
dapat terhubung tentang pengetahuan bahwa mereka telah memperoleh dengan
ide-ide mereka. Seperti dalam pembelajaran sains yaitu kimia, guru harus
mengetahui pengetahuan awal siswa sehingga guru dapat memberikan materi-materi
yang dapat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Karena kita ketahui sulit
untuk memahami setiap materi kimia yang bersifat abstrak. Tentunya dengan
menghubungkan pada kehidupan sehari-hari hal ini akan membawa siswa dapat
berfikir dan menuangkan ide-ide mereka melalui pengalaman.
Keterampilan
pengalaman ini akan mendorong siswa untuk mengembangkan pemikiran serta
pengetahuan melalui pembelajaran bermakna (King, 2009). Pembelajaran berbasis
kontekstual (contextual teaching and
learning) adalah sebuah pendekatan yang memungkinkan guru untuk
melaksanakan pembelajaran bermakna bagi siswa dengan memberi mereka kesempatan
untuk menghubungkan apa yang telah mereka pelajari dengan dunia nyata
(Crawford, 2001). Pendekatan ini cocok digunakan bagi siswa dengan berbagai
keterampilan, minat, pengalaman dan budaya, di mana guru akan melakukan
penyesuaian tentang bagaimana siswa belajar dan bagaimana mereka akan
dievaluasi (Nafisah et al., 2011).
Pendekatan
pembelajaran kontekstual juga mendorong siswa untuk mengembangkan konstruksi
mereka sendiri, yang kemudian akan mendorong mereka untuk menemukan ide-ide dan
pengetahuan baru. Siswa akan mengeksplorasi, membuat keputusan, dan akibatnya
akan bertanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri (Crawford, 2001). Hal
ini tentunya akan membantu siswa dalam pembelajaran kimia, karena kebanyakan
materi kimia seperti koloid akan membawa siswa untuk bereksperimen serta
berfikir kritis mengenai apa itu koloid dan seperti apa bentuk dan jenis dari
koloid. Siswa akan mempunyai rasa tanggung jawab dalam memecahkan masalah
tersebut.
Melalui
eksplorasi pembelajaran kontekstual, tidak hanya akan membantu siswa membuat
amandemen pada isi pelajaran, tetapi mereka juga akan menemukan bukti argumen
tentang isi pelajaran di bidang kehidupan. Menurut Broman dan Parchmann (2014)
melalui pendekatan pembelajaran kontekstual, siswa akan membangun pengetahuan
secara aktif melalui pemikiran dan mereka tidak akan memperoleh pengetahuan
secara pasif. Siswa akan menyesuaikan informasi baru dengan pengetahuan yang
ada untuk membangun pengetahuan baru dengan bantuan interaksi sosial dengan
teman-teman dan guru mereka.
Keuntungan
dari pembelajaran kontekstual dapat lebih ditingkatkan dengan bantuan kemajuan
teknologi. Zandvliet (2012) menyatakan bahwa siswa akan memperoleh hasil yang
efektif dari belajar jika integrasi yang cocok antara teknologi dan pedagogik
dapat diimplementasikan. Salah satu tujuan utama
dalam mengajar kimia dengan pendekatan kontekstual adalah bahwa siswa akan
mengembangkan kemampuan untuk memahami dan membuat keputusan tentang masalah
yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari mereka di luar kelas (King, 2007;
King, Bellocchi, & Ritchie, 2006 ). Guru dapat lebih mempersiapkan siswa
untuk dunia modern dengan mengajar melalui pendekatan modern.
Strategi
pembelajaran contextual teaching and
learning (CTL) merupakan strategi pembelajaran yang menekankan pada proses
keterlibatan peserta didik untuk mendapatkan
dan menemukan antara materi yang akan dipelajari dengan realita
kehidupan nyata mereka, sehingga peserta didik terdorong untuk menerapkan
proses pembelajaran tersebut kedalam kehidupan sehari-hari mereka. Di mana di dalam
penyampaian proses pembelajaran, pendidik mengaitkan materi yang diajarkan
dengan melibatkan peserta didik secara langsung dengan kehidupan nyata peserta
dididk. Misalnya, ketika pada pembelajaran kimia dengan materi koloid dalam hal
ini siswa diajak untuk berfikir kritis tentang salah satu bahan yang merupakan
koloid dalam kehidupan sehari-hari. Demikian seterusnya, sehingga semua materi
pelajaran yang diajarkan pendidik didalam proses pembelajaran mengajak siswa
untuk berfikir kritis dan menyentuh pada kehidupan sehari-hari peserta didik.
Pada prinsipnya, CTL mendorong peserta didik untuk mengkonstruksi
pengetahuannya melalui proses pengamatan dan pengalaman yang diperoleh peserta
didik dalam kehidupan nyata sehari-hari mereka.
Sehubungan
dengan hal tersebut, menurut Hamruni (2009), terdapat lima karakteristik
penting dalam proses pembelajaran yang menggunakan pendekatan CTL, yakni:
1. Dalam
CTL, pembelajaran merupakan proses pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge), artinya sesuatu
yang akan dipelajari tidak terlepas dari pengetahuan yang sudah dipelajari.
Dengan demikian pengetahuan yang akan diperoleh peserta didik adalah
pengetahuan yang utuh dan memiliki keterkaitan satu sama lain.
2. pembelajaran
yang kontekstual adalah pembelajaran yang dapat menambah pengetahuan baru (acquiring knowledge), pengetahuan baru
tersebut diperoleh secara deduktif. Artinya pembelajaran dimulai dengan
mempelajari secara keseluruhan, kemudian memperhatikan secara detail.
3. Pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge).
Artinya, pengetahuan yang diperoleh bukan untuk dihafal, tetapi untuk dipahami,
dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari, dipraktikan dan dibahaskan.
4. Mempraktikan
pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying
knowledge). Artinya pengetahuan dan pengelaman yang telah diperoleh harus
dapat diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari, sehingga tampak ada
perubahan pada perilaku peserta didik.
5. Melakukan
refleksi (refecting knowledge)
terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Hal ini dilakukan sebagai umpan
balik (feedback) untuk proses
perbaikan dan penyempurnaan strategi.
Menurut
johnson (2002 dalam nurhadi, dkk, 2003) ada delapan komponen utama dalam sistem
pembelajaran kontekstual, yaitu sebagai berikut.
a. Melakukan
hubungan yang bermakna (making meaningful
connections). Artinya, siswa dapat mengatur diri sendiri sebagai orang yang
belajar secara aktif dalam mengembangkan minatnya secara individual, orang yang
dapat bekerja sendiri atau bekerja dalam kelompok, dan orang yang dapat belajar
sambil berbuat (learning by doing).
b. Melakukan
kegiatan-kegiatan yang signifikan (doing
significantwork). Artinya, siswa membuat hubungan-hubungan antara sekolah
dan berbagai konteks yang ada dalam kehidupan nyata sebagai pelaku bisnis dan sebagai
anggota masyarakat.
c. Belajar
yang diatur sendiri (self regulated
learning).
d. Bekerja
sama (collaborating). Artinya, siswa
dapat bekerja sama, guru membantu siswa bekerja secara efektif dalam kelompok,
membantu mereka memahami bagaimana mereka saling mempengaruhi dan saling
berkomunikasi.
e. Berfikir
kritis dan kreatif (critical and creative
thinking). Artinya, siswa dapat menggunakan tingkat berfikir yang lebih
tinggi secara kritis dan kreatif, dapat menganalisis, membuat sintesis,
memecahkan masalah, membuat keputusan, dan menggunakan logika serta
bukti-bukti.
f. Mengasuh
atau memelihara pribadi siswa (nurturing
the individual). Artinya, siswa memelihara pribadinya: mengetahui, memberi
perhatian, memiliki harapan-harapan yang tinggi, memotivasi, dan memperkuat
diri sendiri. Siswa tidak dapat berhasil tanpa dukungan orang dewasa.
g. Mencapai
standart yang tinggi (reaching high
standards). Artinya, siswa mengenal dan mencapai standar yang tinggi:
mengidentifikasi tujuan dan memotivasi siswa untuk mencapainya. Guru
memperlihatkan kepada siswa
h. cara
mencapai apa yang disebut “excellence.”
i.
Menggunakan penilaian
autentik (using authentic assessment).
Komponen utama pembelajaran kimia yang
mendasari penerapan pembelajaran kontekstual di kelas, yaitu sebagai berikut.
1. Kontruktivisme
Pada materi kimia seperti materi koloid,
guru menjelaskan sedikit mengenai materi yang akan dibahas. Selanjutnya guru
dapat membawa siswa untuk berfikir mengenai koloid yang ada dalam kehidupan
sehari-hari. Misalnya, guru memberikan satu contoh mengenai sirup yang
merupakan larutan.
2. Menemukan
(Inquiry)
Setelah guru memberikan satu contoh,
kemudian guru mengajak siswa untuk berfikir mengenai susu dan kopi. Di sini
guru sebagai fasilitator dan siswa akan
dilatih berfikir mandiri untuk menemukan apakah susu dan kopi termasuk
dari koloid.
3. Bertanya
(Questioning)
Setelah siswa menemukan bahwa susu
merupakan koloid dan kopi merupakan suspensi. Pada proses ini akan timbul
pertanyaan dari siswa yaitu, mengapa susu dikatakan koloid dan kopi merupakan
suspensi. Selanjutnya guru sebagai pembimbing akan menjawab pertanyaan dari
siswa dengan menjelaskan masing-masing dari contoh tersebut.
4. Masyarakat
Belajar (Learning Community)
Selain belajar di kelas, guru juga dapat
membentuk kelompok belajar di luar kelas. Guru memberikan suatu masalah
mengenai koloid dan siswa secara kelompok dapat membahas dan mencari mengenai
materi tersebut. Tujuan dari masyarakat belajar ini yaitu, membiasakan siswa
untuk berlatih belajar tidak hanya di kelas tetapi juga di luar kelas bersama
kelompok belajar.
.
5. Refleksi
(Reflection)
Pada tahap ini guru dapat bertanya
kepada siswa mengenai materi koloid yang sudah dipelajari, apakah siswa
tersebut sudah mengerti. Peran guru adalah memberikan penguatan kepada siswa
agar materi koloid yang disampaikan dapat tertanam dalam pikiran siswa.
6. Penilaian
yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Guru dapat memberikan penilaian kepada
siswa dari berbagai aspek. Misalnya siswa yang aktif dalam berdiskusi dan
bertanya tentang masalah koloid yang disampaikan, dapat diberikan nilai agar
menunjang siswa yang lain untuk aktif. Penilaian juga dapat dilihat dari
tugas-tugas yang diberikan guru. Apabila terdapat siswa yang tidak aktif, maka
peran guru di sini adalah memberi penguatan kepada siswa agar siswa tersebut
dapat aktif di dalam kelas.
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE