1.1. Pentingnya Hukum Bisnis bagi Pelaku Bisnis
Dewasa
ini aktivitas bisnis berkembang begitu pesatnya dan terus merambah ke berbagai
bidang, baik menyangkut barang maupun jasa. Bisnis merupakan salah satu pilar
penopang dalam upaya mendukung perkembangan ekonomi dan pembangunan.
Dalam
melakukan bisnis tidak mungkin pelaku bisnis terlepas dari hukum karena hukum
sangat berperan mengatur bisnis agar bisnis bisa berjalan dengan lancar,
tertib, aman sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan akibat adanya
kegiatan bisnis tersebut, contoh hukum bisnis adalah undang-undang perlindungan
konsumen (UU No. 8 tahun 1999). Dalam undang-undang perlindungan konsumen dalam
pasal disebut diatur tentang kewajiban pengusaha mencantumkan lebel halal dan
kadaluarsa pada setiap produk yang ia keluarkan. Dengan kewajiban tersebut
konsumen terlindungi kesehatannya karena ada jaminan perlindungan jika produk
sudah daluarsa. Begitu juga dengan konsumen umat islam adanya lebel halal akan
terjamin dari mengkonsumsi produk haram. Contoh-contoh hukum yang mengatur
dibidang bisnis, hukum perusahaan (PT, CV, Firma), kepailitan, pasar modal,
penanaman modal PMA/PMDN, kepailitan, likuidasi, merger, akuisisi, perkreditan,
pembiayaan, jaminan hutang, surat berharga, hukum ketenagakerjaan/perburuhan,
hak kekayaan intelektual, hukum perjanjian (jual beli/transaksi dagang), hukum
perbankan, hukum pengangkutan, hukum investasi, hukum teknologi, perlindungan
konsumen, hukum anti monopoli, keagenan, distribusi, asuransi, perpajakan,
penyelesaian sengketa bisnis, perdagangan internasional/WTO, kewajiban
pembukuan, dll.
Dengan
demikian jelas aturan-aturan hukum tesebut diatas sangat dibutuhkan dalam dunia
bisnis. Aturan-aturan hukum itu dibutuhkan karena:
1.
Pihak-pihak yang terlibat dalam
persetujuan/perjanjian bisnis itu membutuhkan sesuatu yang lebih daripada
sekadar janji serta itikad baik saja.
2.
Adanya kebutuhan untuk menciptakan
upaya-upaya hukum yang dapat digunakan seandainya salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajibannya, tidak memenuhi janjinya.
Disinilah
peran hukum bisnis tersebut. Untuk itu pemahaman hukum bisnis dewasa ini
dirasakan semakin penting, baik oleh pelaku bisnis dan kalangan pembelajar
hukum, praktisi hukum maupun pemerintah sebagai pembuat regulasi kebijakan yang
berkaitan dengan dunia usaha. Hal ini tidak terlepas dari semakin intens dan
dinamisnya aktivitas bisnis dalam berbagai sektor serta mengglobalnya sistem
perekonomian.
2.2. Bentuk-Bentuk
Kerjasama dalam Kegiatan Usaha
Ada beberapa macam bentuk kerjasama
dalam kegiatan usaha yang sering dilakukan oleh perusahaan yaitu:
I.
Merger
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menggunakan istilah “Penggabungan” sebagai
pengganti terminologi “Merger”. UUPT memberikan pengertian penggabungan adalah
perbuatan hokum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan
diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum
memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri
beralih Karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan
selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir
karena hukum.
Menurut Abdulkadir Muhammad
istilah Merger di Indonesiakan menjadi Penggabungan.
Penggabungan sama halnya dengan akuisisi merupakan pengembangan perusahaan yang
sudah ada. Pengembangan ini terjadi karena ada beberapa (minimal dua)
perusahaan yang bergabung, tetapi salah satunya tetap berdiri, sedangkan yang
lainnya bubar karena dilebur kedalam perusahaan yang masih ada.
Menurut Rr. Dijan Widijowati, merger
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk
menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya
perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.
Merger merupakan salah satu cara
perusahaan dalam mengatasi persaingan usaha yang terjadi dalam praktik, untuk
menciptakan suatu perusahaan yang lebih besar dan kuat dalam pasar, mengingat
merger merupakan bagian upaya restrukturisasi untuk menciptakan sinergi
dibandingkan cara lain dalam mengatasi persaingan, seperti memfokuskan sumber
daya ekonomi yang dimiliki pada segmen tertentu yang lebih kecil.
Merger memiliki tujuan yaitu:
- Memperbesar modal
- Menyelamatkan kelangsungan
produksi
- Mengembangkan jalur produksi
- Menciptakan system pasar
monopolisitik.
Merger memiliki manfaat yang besar, baik terhadap
perusahaan-perusahaan yang melakukan merger maupun terhadap konsumen,
diantaranya:
- Memberikan efisiensi dan
peningkatan produktifitas bagi perusahaan yang melakukan merger;
- Memberikan penyelesaian dalam
beragam masalah, seperti masalah kesulitan keuangan atau masalah ancaman
bangkrut (failing firm reasoning);
- Dapat meningkatkan utilisasi
kapasitas berlebih (idle capacity),
menekan biaya transportasi, dan mengganti manajer berkinerja buruk yang
tidak tesedia secara internal;
- Dapat memberikan akses modal
dalam internal perusahaan;
- Dapat memberikan manfaat dalam
riset dan pengembangan (research &
development);
- Dapat menghasilkan biaya
produksi yang lebih rendah, penurunan harga, dan peningkatan kualitas
barang yang menguntungkan konsumen.
Menurut Munir Fuadi, secara yuridis yang manjadi dasar
hukum bagi merger adalah:
- Dasar hukum utama
(Undang-Undang dan peraturan pelaksana);
- Dasar hukum kontraktual;
- Dasar hukum status perusahaan,
seperti pasar modal, Penanaman Modal Asing (PMA), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN);
- Dasar hukum konsekuensi merger;
- Dasar hukum pembidangan
usaha.
Berdasarkan hubungan usaha, serta ada atau tidaknya
kesamaan sifat dari 2 (dua) entitas usaha yang melakukan merger, bentuk merger
dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
- Horizontal Merger, dalam
arti merger dari 2 (dua) unit usaha atau lebih yang memiliki produk
sejenis baik barang atau jasa. Horizontal merger dilakukan untuk
mengurangi persaingan industri, memperkuat pangsa pasar, dan memperoleh
efisiensi biaya operasional;
- Vertikal Merger, dalam
arti merger antara 2 (dua) unit usaha atau lebih yang mempunyai
keterkaitan supplier atau pelanggan. Vertical merger dilakukan untuk lebih
menjaga kontinuitas produksi dan operasi perusahaan.
- Congeneric Merger, dalam
arti merger 2 (dua) unit usaha atau lebih dalam industry sejenis yang
tidak memiliki keterkaitan supplier atau pelanggan;
- Conglomerate Merger, dalam
arti merger antara dua unit usaha atau lebih dalam industry yang berbeda
dan tidak ada keterkaitan satu sama lain, sehingga model ini merupakan
diversifikasi usaha untuk mengurangi resiko.
Menurut Ashibly merger horizontal
adalah penggabungan satu atau beberapa perusahaan yang masing-masing kegiatan
bisnis (produksinya) berbeda satu sama lain sehingga yang satu dengan yang lain
nya merupakan kelanjutan dari masing-masing produk. Contoh PT A mengusahakan
kapas, bergabung dengan PT C yang mengusahakan kain dan seterusnya. Dengan
demikian tujuan kerjasama disini adalah menjamin tersedianya pasokan atau
penjualan dan distribusi di mana PT B akan mempergunakan produk PT A dan
PT C akan mempergunakan produk PT B dan seterusnya.
Merger vertical adalah penggabungan
satu atau beberapa perusahaan yang masing-masing kegiatan bisnis berbeda satu
sama lain, namun tidak saling mendukung dalam penggunaan produk. Misalnya badan
usaha perhotelan, bergabung dengan badan usaha perbankan, perasuransian
sehingga di sini terlihat adanya diversifikasi usaha dalam suatu penggabungan
badan usaha.
Di pandang dari aspek hukum, bentuk
kerjasama ini hanya dapat dilakukan pada badan usaha dengan status badan hukum
(dalam hal ini perseroan terbatas).
II. Konsolidasi
Konsolidasi yang berasal dari kata “consolidation” , yang berarti “melebur”, adalah
perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) perseroan atau lebih untuk
meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum
memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri, selain status
badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
Konsolidasi atau yang disebut juga
sebagai peleburan perusahaan, merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh
satu atau lebih perseroan untuk meleburkan diri dengan perseroan lain dengan
membentuk satu perseroan baru, yang masing-masing perseroan yang meleburkan
diri menjadi bubar (tanpa proses likuidasi), sehingga perseroan-perseroan yang
telah membubarkan diri membentuk perusahaan baru. Singkat kata, konsolidasi
merupakan penggabungan perusahaan yang bergabung menjadi satu dan membentuk
perusahaan baru.
Antara konsolidasi dan merger sering
kali dipersamakan sehingga dalam praktik kedua istilah ini sering di
pertukarkan dan dianggap sama artinya, namun sebenarnya terdapat perbedaan
pengertian antara konsolidasi dan merger. Dalam merger penggabungan antara dua
atau lebih badan usaha tidak membuat badan usaha yang bergabung menjadi lenyap,
sedangkan konsolidasi adalah penggabungan antara dua atau lebih badan usaha
yang menggabungkan diri saling melebur menjadi satu dan membentuk satu badan
usaha yang baru, oleh kerena itu, konsolidasi ini sering kali di sebut dengan
peleburan.
Menurut Abdulkadir Muhammad
sebagaimana halnya dengan penggabungan, maka peleburan juga bertujuan untuk
mencapai hal-hal berikut:
- Memperbesar jumlah modal;
- Memperbesar sinergi perseroan;
- Menyelamatkan kelangsungan
produksi;
- Mengamankan jalur distribusi;
dan
- Mengurangi pesaing dan mampu
bersaing secara monopolistic.
III.
Joint Venture
Menurut Engga Prayogi, Joint Venture adalah suatu persetujuan diantara
dua pihak atau lebih, untuk melakukan kerjasama dalam suatu kegiatan.
Persetujuan yang dimaksud adalah kesepakatan atas suatu perjanjian yang
berpegangan pada prinsip-prinsip KUH Perdata. Pesetujuan harus memenuhi syarat
dan sah menurut KUH Perdata seperti yang tertuang dalam Pasal 1320. Adapun
bunyi Pasal 1320 sebagai berikut:
- Para pihak sepakat untuk
mengikatkan dirinya;
- Para pihak cakap untuk
melakukan suatu perbuatan hukum;
- Perbuatan hukum tersebut harus
mengenai suatu hal tertentu;
- Persetujuan tersebut harus
mengenai seuatu hal yang tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan
ketertiban umum.
Menurut Fikriyah, Joint Venture atau
usaha patungan merupakan persetujuan diantara dua pihak atau lebih untuk
melakukan kerjasama di dalam suatu proyek, seringkali suatu joint venture
dilakukan apabila perusahaan-perusahaan dengan teknologi yang saling melengkapi
ingin menciptakan barang atau jasa yang akan saling memperkuat posisi
masing-masing perusahaan. Suatu joint venture biasanya dibatasi pada suatu
proyek Investasi dalam joint venture Kepemilikan atas investasi dalam joint
venture dapat dilakukan secara bervariasi. Pada umumnya kepemilikan mayoritas
ada pada pihak asing, dan kepemilikan minoritas ada di tangan pihak nasional.
Kepemilikan dapat juga ditentukan seimbang, dapat pula 100% pemilikan dipegang
oleh salah satu partner, sedangkan partner yang lain mempunyai hak opsi untuk
mendapatkan sebagian atau keseluruhan saham.
Joint venture atau usaha patungan
ini dikategorikan sebagai kegiatan penanaman modal asing (“PMA”) sebagaimana
didefinisikan dalam Pasal 1 huruf (c) UU No. 25 Tahun 2007 tentang
Penanaman Modal (“UU Penanaman Modal”).
Berdasarkan Pasal 27 UU Penanaman Modal, maka
Pemerintah mengoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar
instansi Pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi Pemerintah dengan
pemerintah daerah, maupun antar pemerintah daerah. Koordinasi pelaksanaan
kebijakan penanaman modal ini dilakukan oleh Badan Kepala Koordinasi Penanaman
Modal (“BKPM”). BKPM merupakan lembaga independen non-departemen yang
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Presiden kemudian menetapkan
Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal
pada 3 September 2007 (“Perpres No. 90/2007”).
Joint venture secara umum dapat di artikan sebagai
suatu persetujuan di antara dua pihak atau lebih, untuk melakukan kerjasama
dalam suatu kegiatan. Persetujuan di sini adalah kesepakatan yang di dasari
atau suatu perjanjian yang harus tetap berpedoman kepada syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Jadi menurut
Amirizal joint venture adalah kerjasama antara pemilik
modal asing dengan pemilik modal nasional semata – mata berdasarkan suatu
perjanjian belaka (contractueel).
Subjek dari joint venture dapat
di bagi menjadi dua jenis kerjasama yaitu :
- Antara orang atau badan hukum
RI dengan orang atau badan hukum RI
- Antara orang atau badan hukum
RI dengan orang atau badan hukum asing/lembaga internasional.
Keuntungan dari kerjasama Joint Venture adalah:
- badan usaha Indonesia akan
mendapat bantuan pendanaan dengan memanfaatkan modal asing;
- badan usaha Indonesia dapat
memanfaatkan kemampuan manajemen asing yang sudah berpengalaman;
- badan usaha Indonesia dapat
memanfaatkan dan menembus pasar di luar negeri;
- bagi pihak asing mempermudah
akses ke sumber-sumber local;
- pihak asing mempunyai akses
untuk masuk ke pasar domestik yang mungkin dimiliki mitra lokal
IV.
Waralaba
Waralaba (Inggris: Franchising; Prancis: Franchise) untuk
kejujuran atau kebebasan adalah hak-hak untuk menjual suatu produk atau jasa
maupun layanan. Sedangkan menurut versi pemerintah Indonesia, yang dimaksud
dengan waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak
memanfaatkan dan atau menggunakan hak dari kekayaan intelektual (HAKI)
atau pertemuan dari ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu
imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan oleh pihak lain tersebut dalam
rangka penyediaan dan atau penjualanbarang dan jasa.
Sedangkan menurut Asosiasi Franchise Indonesia, yang
dimaksud dengan Waralaba ialah:Suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana pemilik merek (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis
dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang telah ditetapkan sebelumnya
dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu.
Selain pengertian waralaba, perlu dijelaskan pula apa
yang dimaksud dengan franchisordan franchisee. Franchisor atau pemberi waralaba, adalah
badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas
usaha yang dimilikinya. Franchisee atau penerima waralaba, adalah badan usaha
atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak
atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi
waralaba.
Waralaba yang dulu dikenal dengan istilah franchise
sekarang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang
Waralaba. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau
badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan
dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Waralaba dapat dibagi menjadi dua:
1.
Waralaba luar negeri, cenderung lebih disukai karena
sistemnya lebih jelas, merek sudah diterima diberbagai dunia, dan dirasakan
lebih bergengsi.
2.
Waralaba dalam negeri, juga menjadi salah satu pilihan
investasi untuk orang-orang yang ingin cepat menjadi pengusaha tetapi tidak
memiliki pengetahuan cukup piranti awal dan kelanjutan usaha ini yang
disediakan oleh pemilik waralaba.
Kriteria tertentu yang dimaksudkan adalah syarat
mutlak untuk adanya waralaba, kriteria tersebut adalah :
1.
Memiliki ciri khas usaha, artinya suatu usaha yang
memiliki keunggulan atau perbedaan yang tidak mudah ditiru dibandingkan dengan
usaha lain yang sejenis dan membuat konsumen selalu mencari ciri khas di
maksud. Misalnya sistem manajemen, cara penjualan dan pelayanan dsb.
2.
Terbukti sudah memberikan keuntungan, maksudnya bahwa
usaha tersebut berdasarkan pengalaman pemberi waralaba yang telah dimiliki
kurang lebih 5 ( lima ) tahun dan telah mempunyai kiat – kiat bisnis untuk
mengatasi masalah – masalah dalam perjalanan usahanya, terbukti masih bertahan
dan berkembangnya usaha tersebut dengan menguntungkan.
3.
Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau
jasa yang ditawarkan yag dibuat secara tertulis, dimaksud dengan standar atas
pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis
adalah supaya penerima waralaba dapat melaksanakan usaha dalam kerangka
kerja yang jelas dan sama ( standard operational procedure ).
4.
Mudah diajarkan dan di aplikasikan, maksudnya usaha
tersebut mudah dilaksanakan sehingga penerima waralaba yang belum memiliki
pengalaman atau pengetahuan mengenai usaha sejenis dapat melaksanakannya dengan
baik sesuai dengan bimbingan operasional dan manajeman yang berkesinambungan
yang diberikan oleh pemberi waralaba.
5.
Adanya dukungan yang berkesinambungan, yaitu
dukungan dari pemberi waralaba kepada penerima waralaba secara terus – menerus
seperti bimbingan operasional, pelatihan, dan promosi
6.
Hak kekayaan intelektual yang telah terdaftar, adalah
HKI yang terkait dengan usaha seperti merek, hak cipta, paten, dan rahasia
dagang, sudah di daftarkan dan mempunyai sertifikat atau sedang dalam proses
pendaftaran di instansi yang berwenang.
Menurut Abdulkadir Muhammad, melalui
system Franchise ini, kegiatan usaha kecil di Indonesia dapat berkembang secara
wajar dengan menggunakan resep, teknologi, kemasan, manajemen pelayanan dan
merek dagang/jasa pihak lain dengan membayar sejumlah royalty berdasarkan
lisensi franchise.
Di Indonesia, sistem waralaba mulai dikenal pada
tahun 1950-an, yaitu dengan munculnya dealer kendaraan bermotor melalui
pembelian lisensi. Perkembangan kedua dimulai pada tahun 1970-an, yaitu dengan
dimulainya sistem pembelian lisensi plus, yaitu franchisee tidak
sekedar menjadi penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi
produknya . Agar waralaba dapat berkembang dengan pesat, maka persyaratan
utama yang harus dimiliki satu teritori adalah kepastian hukum yang mengikat
baik bagi franchisor maupun franchisee. Karenanya, kita dapat melihat bahwa di
negara yang memiliki kepastian hukum yang jelas, waralaba berkembang pesat,
misalnya di AS dan Jepang. Tonggak kepastian hukum akan format waralaba diIndonesia dimulai pada tanggal 18 Juni 1997, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP)
RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba. PP No. 16 tahun 1997 tentang waralaba
ini telah dicabut dan diganti dengan PP no 42 tahun 2007 tentang Waralaba.
Selanjutnya ketentuan-ketentuan lain yang mendukung kepastian hukum dalam
format bisnis waralaba adalah sebagai berikut:
- Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan RI No. 259/MPP/KEP/7/1997 Tanggal 30 Juli 1997 tentang
Ketentuan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba.
- Peraturan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan RI No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan
Waralaba
- Undang-undang No. 14 Tahun 2001
tentang Paten.
- Undang-undang No. 15 Tahun 2001
tentang Merek.
- Undang-undang No. 30 Tahun 2000
tentang Rahasia Dagang.
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE