A. Hakekat Kimia
Kimia
bukan disiplin yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan berbagai disiplin
ilmu lain. Keterkaitan kimia dengan ilmu lain terjadi karena dua sebab.
Pertama, adanya pengetahuan (konsep, hukum, dan teori) dari disiplin lain yang
diaplikasikan untuk menjelaskan fenomena kimia. Kedua, pengetahuan kimia
diterapkan dalam disiplin ilmu lain. Dalam pada itu tidak aneh bila ditemukan
kaidah matematika dan fisika diaplikasikan dalam kimia, dan pada saat yang sama
tidaklah sulit melihat aplikasi kimia dalam biologi, geologi, kedokteran,
pertanian, dll.
Sebagai
sebuah ilmu pengetahuan alam, kajian-kajian dalam kimia bertujuan untuk
memahami sifat dan perubahan materi di alam. Konsep, hukum, teori dalam kimia
dihasilkan kajian-kajian tersebut. Namun, sebagai akibat dari pemahaman manusia
terhadap sifat dan perubahan materi di alam, manusia mampu meniru alam dalam
menghasilkan produk-produk alam. Hal inilah yang kemudian melahirkan
pengetahuan kimia yang dapat diaplikasikan untuk memuat berbagai bahan-bahan
sintetik, seperti misalnya plastik dan semikonduktor. Di samping itu dengan
pemahaman terhadap sifat dan perubahan di alam, kimiawan menjadi mampu
mengendalikan proses-proses alam agar menguntungkan dan meningkatkan manfaatnya
bagi manusia. Teknologi pencegahan korosi, pencegahan pencemaran, produksi
obat-obatan, penyediaan pasokan air minum, merupakan satu contoh kecil dari
aplikasi kimia dalam pengendalian proses alam. Oleh karena aplikasinya yang
luas itu, kimia mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sebagaimana ditunjukkan
oleh luasnya pasar dari produk-produk teknologi kimia seperti pupuk,
insektisida, obat-obatan, bahan bangunan, dan produk-produk petrokimia.
Begitu
luasnya aplikasi pengetahuan kimia, menyebabkan sisi aplikasi dari kimia nampak
lebih popular di masyarakat daripada sisi ilmu murninya. Bersamaan dengan hal
itu dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh salah guna pengetahuan dan
produk kimia juga popular di masyarakat. Sebagai contoh, pencemaran lingkungan akibat
penggunaan secara berlebih pestisida dan deterjen, salah guna bahan-bahan
pengawet dan obat-obatan, bahan peledak, dan penggunaan zat kimia beracun
sebagai senjata kimia. Potret kimia yang tampil di masyarakat seperti itu
menyebabkan kimia dipandang sebagai ilmu yang berbahaya. Padahal sesungguhnya
seperti halnya disiplin ilmu lain, kimia bersifat netral, sedangkan yang
menyebabkannya beguna atau berbahaya bagi manusia dan alam adalah orang yang
menggunakannya. Kimia akan menjadi
ilmu yang berguna ditangan orang-orang yang bertanggungjawab. Sebaliknya, kimia
akan menjadi berbahaya ditangan orang yang tidak bertanggungjawab.
Kimia memiliki akar sejarah pada zaman kuno,
misalnya penemuan teknik praktis pembuatan logam dari bijih-bijihnya di Mesir
dan Babilonia pada zaman kuno dan upaya transmutasi unsur kimia oleh
tokoh-tokoh alkimia pada Abad ke 15 dan 16. Kajian-kajian teoretik para filosof
alam di Yunani juga memberikan sumbangan cukup berarti pada perkembangan kimia.
Perkembangan kimia menjadi lebih pesat sejak alat-alat ukur kuantitatif
berhasil diciptakan, yang memungkinkan ahli kimia dapat melakukan
eksperimentasi-eksperimentasi yang terukur secara cermat (Marks, 1985).
Hukum-hukum dasar kimia, seperti hukum kekekalan massa, hukum perbandingan tetap,
hukum kelipatan perbandingan merupakan hasil eksperimen para kimiawan di Eropa
pada abad ke-18. Interpretasi sub-mikroskopik terhadap hukum-hukum dasar itu
melahirkan Teori Atom Dalton yang sangat monumental, karena sejak itu
kajian-kajian kimia memasuki wilayah partikel sub-mikroskopik di samping
fenomena-fenomena makroskopik yang nampak. Perkembangan selanjutnya terjadi
pada saat sistem lambang (simbol) unsur diciptakan, yang memungkinkan kimiawan
merepresentasikan zat kimia dan perubahannya dengan notasi-notasi yang
disepakati, sehingga fenomena kimia menjadi lebih mudah dikomunikasikan.
Kimiawan melakukan pengamatan terhadap
aspek-aspek makroskopik zat-zat kimia yang dikaji, merepresentasikannya dalam
ungkapan-ungkapan simbolik, serta menginterpretasikan fenomena yang diamati
tersebut dalam representasi-representasi sub-mikroskopik. Kajian dalam kimia
melibatkan tiga dimensi penalaran, yakni dimensi makroskopik (berkaitan dengan
apa yang terobservasi), dimensi simbolik (lambang, formula, persamaan), dan
dimensi sub-mikroskopik (atom, molekul, ion, struktur molekul) (Bucat, 1995;
Johnstone, 2000). Berpikir dalam tiga dimensi tersebut merupakan tuntutan
dispilin ilmu kimia, yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain. Namun pada
saat yang sama, pekerjaan berpindah-pindah di antara tiga dimensi kimia ini
acapkali dipandang sebagai penyebab kimia sebagai disiplin ilmu yang sukar
dipelajari.
Dewasa ini disiplin ilmu kimia berkembang
secara pesat berkat ditemukannya pengetahuan-pengetahuan baru sebagai hasil
penelitian yang dilakukan oleh kimiawan. Penelitian merupakan mesin
perkembangan kimia. Dalam melakukan penelitian para ahli kimia menggunakan
“metode ilmiah” (scientific method) sebagai pendekatan dalam memecahkan
masalah, yang secara umum mencakup komponen-komponen observasi, hipotesis,
eksperimen, dan teori (Hill & Kolb, 2001; Silberberg, 2003). Observasi
terhadap fenomena alam merupakan landasan untuk berpikir secara ilmiah.
Informasi yang diperoleh dalam observasi dinamakan data, dan jika data tersebut
terobservasi berulang-ulang melahirkan fakta. Fakta-fakta ilmiah dirangkum
dalam pernyataan singkat yang dinamakan sebagai hukum ilmiah (scientific law),
yang seringkali diungkapkan sebagai formula matematis. Hukum kekekalan massa yang ditemukan Lavoisier
pada tahun 1789 merupakan salah satu contoh hukum ilmiah (Marks, 1985).
Selanjutnya, gagasan-gagasan perlu
dikemukakan untuk menerangkan (memberikan eksplanasi) terhadap fakta-fakta
observasi tadi. Gagasan yang diusulkan untuk menerangkan fakta dinamakan
hipotesis. Hipotesis selanjutnya mengarahkan eksperimen untuk menguji
kebenarannya. Pada sebuah eksperimen dilakukan pengukuran efek satu variable
terhadap satu variable lain, seraya variable-variabel selain variable
eksperimen yang mungkin berpengaruh dikendalikan (dibuat konstan). Agar hasil eksperimen dapat diterima,
ekperimen tersebut harus dapat diulang (reproducible), bukan hanya oleh
perancang ekseprimen itu melainkan juga orang lain. Hasil eksperimen
mengarahkan apakah suatu hipotesis dapat diterima atau ditolak. Hipotesis yang
teruji kebenarannya melalui eksperimen-eksperimen kemudian dinamakan teori,
yang menjadi karangka acuan dalam menerangkan fakta-fakta. Salah satu sifat
teori yang penting adalah tentatif, sebab di kemudian hari dapat saja dimodifikasi
jika terdapat fakta-fakta lain yang tak dapat dapat diterangkan dengan teori
itu, bahkan ditolak bila banyak fakta yang bertolak belakang dengan teori itu.
Teori dalam kimia bersifat abstrak, oleh karenanya seringkali divisualiasikan
dalam bentuk model-model. Sebagai contoh, teori kinetik molekul gas acapkali
divisualisasikan dengan mengunakan bola-bola yang senantiasa bergerak sebagai
model, dan gerakan bola-bola tersebut bertambah cepat jika terjadi kenaikan
temperatur gas. Contoh lain, pembentukan pasangan elektron yang diperserokan
digunakan untuk memvisualisasikan bagaimana atom satu berikatan dengan
atom-atom lain dalam membentuk molekul.
Konten kimia yang berupa konsep, hukum,
teori, pada dasarnya merupakan produk dari rangkaian proses ilmiah yang
dikeumukakan di atas. Oleh karena itu kimia dan juga disiplin lain dalam ilmu
pengetahuan alam seringkali dipandang terdiri atas dua elemen dasar, yakni
produk dan proses. Aspek produk dari kimia lebih tampak daripada aspek
prosesnya, karena publikasi kimia lebih mengutamakan aspek-aspek produknya.
Namun, kedua aspek kimia ini perlu dipandang sama pentignya, sebab tidak ada
pengetahuan kimia tanpa proses ilmiah yang dilakukan kimiawan.
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE