Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai
berbagai fungsi, yaitu sebagai bahasa resmi negara, bahasa pengantar di
lembaga-lembaga pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional bagi
kepentingan menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan, dan alat
pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, seni, serta teknologi
modern. Fungsi-fungsi ini tentu saja harus dijalankan secara tepat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Fungsi bahasa Indonesia dalam kaitannya dengan
lembaga-lembaga pendidikan seperti telah disebutkan di atas adalah sebagai
bahasa pengantar. Jadi, dalam kegiatan/proses belajar-mengajar bahasa pengantar
yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Berkaitan dengan hal ini, saat ini
muncul fenomena menarik dengan adanya Sekolah Nasional Berstandar Internasional
(SNBI). Kekhawatiran sebagaian orang terhadap keberadaan bahasa Indonesia dalam
SNBI muncul karena bahasa pengantar yang digunakan dalam beberapa mata
pelajaran adalah bahasa asing. Padahal kalau kembali ke fungsi bahasa
Indonesia, salah satunya adalah bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan.
Kekhawatiran seperti tersebut di atas, menurut hemat
penulis sah-sah saja. Apalagi kalau kita amati penggunaan bahasa Indonesia oleh
para penuturnya. Dalam berbahasa Indonesia sebagaian penutur kurang mampu
berbahasa Indonesia secara baik dan benar. Dalam suasana yang bersifat resmi,
mereka menggunakan kata-kata/bahasa yang biasa digunakan dalam suasana
takresmi/kehidupan sehari-hari. Padahal, seperti kita ketahui bahwa berbahasa
Indonesia secara baik dan benar adalah berbahasa Indonesia sesuai dengan
suasana/situasinya dan kaidah-kaidan kebahasaan.
Hal tersebut di atas, mungkin karena sikap negatif
terhadap bahasa yang digunakan. Mereka berbahasa Indonesia tanpa
mempertimbangkan tepat tidaknya ragam bahasa yang digunakan. Yang terpenting
adalah sudah menyampaikan informasi kepada orang lain. Perkara orang lain tahu
atau tidak terhadap apa yang disampaikan mereka tidak ambil pusing. Padahal,
salah satu syarat utama supaya komunikasi berjalan dengan lancar adalah
keterpahaman orang lain/mitra tutur terhadap informasi yang disampaikan. Selain
itu, tidak pada tempatnya dalam suasana yang bersifat resmi seseorang
menggunakan kata/kalimat/bahasa yang biasa digunakan dalam suasana takresmi.
Untuk itu, sudah selayaknyalah kalau semua orang/warga
negara Indonesia mempunyai sikap positif terhadap bahasa yang mereka gunakan.
Dalam berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia baik penutur maupun mitra
tutur haruslah mempertimbangkan tepat tidaknya ragam bahasa yang digunakan.
Kita sebagai warga negara Indonesia harus mempunyai sikap seperti itu karena
siapa lagi yang harus menghargai bahasa Indonesia selain warga negaranya. Kalau
kita ingin bahasa Indonesia nantinya bisa menjadi salah satu bahasa
internasional kita juga harus menghargai, ikut merasa bangga, merasa memiliki,
sehingga kita punya jatidiri. Kita, sebagai bangsa Indonesia harus bersyukur,
bangga, dan beruntung karena memiliki bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dan bahasa negara.
Munculnya Sekolah Nasional Berstandar Internasional
(SNBI) tidak perlu memunculkan kekhawatiran akan hilangnya bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan. Hal ini karena ternyata
penggunaan bahasa asing sebagai pengantar ternyata tidak diterapkan pada semua
mata pelajaran. Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di SNBI hanya
diterapkan pada beberapa mata pelajaran.
Memang, intensitas penggunaan bahasa Indonesia sebagai
bahasa pengantar dalam proses belajar-mengajar menjadi berkurang. Hal itu bisa
disiasati dengan lebih mengefektifkan proses pembelajaran bahasa Indonesia
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran lebih banyak diarahkan
kepada hal-hal yang bersifat terapan praktis bukan hal-hal yang bersifat
teoretis. Siswa lebih banyak dikondisikan pada pemakaian bahasa yang aplikatif
tetapi sesuai dengan aturan berbahasa Indonesia secara baik dan benar.
Pengkondisian pada hal-hal yang bersifat terapan
praktis bukan berarti menghilangkan hal-hal yang bersifat teoretis. Hal-hal
yang bersifat teoretis tetap disampaikan tetapi porsinya tidak begitu besar.
Dengan pengkondisian seperti itu, siswa menjadi terbiasa mempergunakan bahasa
Indonesia secara baik dan benar. Dalam suasana resmi mereka menggunakan bahasa
resmi dan dalam suasana takresmi mereka menggunakan bahasa takresmi. Selain
itu, mereka menjadi terbiasa menggunakan bahasa Indonesia sesuai dengan
kaidah-kaidah kebahasaan.
Secara formal sampai saat ini bahasa Indonesia
mempunyai empat kedudukan, yaitu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional,
bahasa negara, dan bahasa resmi. Dalam perkembangannya lebih lanjut, bahasa
Indonesia berhasil mendudukkan diri sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu.
Keenam kedudukan ini mempunyai fungsi yang berbeda, walaupun dalam praktiknya
dapat saja muncul secara bersama-sama dalam satu peristiwa, atau hanya muncul
satu atau dua fungsi saja.
Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak "Soempah Pemoeda", 28 Oktober 1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik. Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsaIndonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk. Kehadiran bahasaIndonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.
Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasaIndonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orangIndonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalamn fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum, bertambah banyaknya jumlah perkawinan antarsuku, dan bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulau dikenal sejak 17 Agustus 1945 ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus dibina dan dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah.kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasaIndonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara bawahan - atasan, mahasiswa - dosen, kepala dinas - bupati atau walikota, kepala desa - camat, dan sebagainya.
Bahasa Indonesia dikenal secara luas sejak "Soempah Pemoeda", 28 Oktober 1928, yang menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Pada saat itu para pemuda sepakat untuk mengangkat bahasa Melayu-Riau sebagai bahasa Indonesia. Para pemuda melihat bahwa bahasa Indonesialah yang berpotensi dapat mempersatukan bangsa Indonesia yang terdiri atas ratusan suku vangsa atau etnik. Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsaIndonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk. Kehadiran bahasaIndonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meinggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan ini, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.
Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasaIndonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orangIndonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok-pelosok tanah air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalamn fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya sarana perhubungan, bertambah luasnya pemakaian alat perhubungan umum, bertambah banyaknya jumlah perkawinan antarsuku, dan bertambah banyaknya perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mulau dikenal sejak 17 Agustus 1945 ketika bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan nasional atau lambang kebangsaan. Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan. Melalui bahasa nasional, bangsa Indonesia menyatakan harga diri dan nilai-nilai budaya yang dapat dijadikan pegangan hidup. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia dipelihara dan dikembangkan oleh bangsa Indonesia. Rasa kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia ini pun terus dibina dan dijaga oelh bangsa Indonesia. Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia dijunjung tinggi di samping bendera nasional, Merah Putih, dan lagu nasional bangsa Indonesia, Indonesia Raya. Dalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga serasi dengan lambang kebangsaan lainnya. Bahasa Indonesia dapat mewakili identitasnya sendiri apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, yang memang benar-benar tidak diperlukan, misalnya istilah/kata dari bahasa Inggris yang sering diadopsi, padahal istilah.kata tersebut sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sejalan dengan fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarbudaya, bahasa Indonesia telah berhasil pula menjalankan fungsinya sebagai alat pengungkapan perasaan. Kalau beberapa tahun yang lalu masih ada orang yang berpandangan bahwa bahasa Indonesia belum sanggup mengungkapkan nuansa perasaan yang halus, sekarang dapat dilihat kenyataan bahwa seni sastra dan seni drama, baik yang dituliskan maupun yang dilisankan, telah berkembang demikian pesatnya. Hal ini menunjukkan bahwa nuansa perasaan betapa pun halusnya dapat diungkapkan secara jelas dan sempurna dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini tentulah dapat menambah tebalnya rasa kesetiaan kepada bahasa Indonesia dan rasa kebanggaan akan kemampuan bahasa Indonesia.
Dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis. Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasaIndonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan. Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pagawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.
Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya. Misalnya, surat-menyurat antarinstansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, lokakarya masalah pembangunan nasional, dan surat dari karyawan atau pagawai ke instansi pemerintah. Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan bahasa Indonesia. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh,misalnya antara bawahan - atasan, mahasiswa - dosen, kepala dinas - bupati atau walikota, kepala desa - camat, dan sebagainya.
Akibat pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36, UUD 1945, bahasa Indonesia pun kemudian berkedudukan sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini bahasa Indonesia dipergunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial budaya nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya. Di samping itu, dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna dan teknologi (iptek) untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan iptek dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan demikian, masyarakat Indonesiatidak lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan iptek. Pada tahap ini, bahasa Indonesia bertambah perannya sebagai bahasa ilmu. Bahasa Indonesia oun dipakai bangsa Indonesia sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan.
Bahasa Indonesia berfungsi pula sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari lembaga pendidikan terendah (taman kanak-kanak) sampai dengan lembaga pendidikan tertinggi (perguruan tinggi) di seluruh Indonesia, kecuali daerah-daerah yang mayoritas masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di daerah ini, bahasa daerah boleh dipakai sebagai bahasa pengantar di dunia pendidikan tingkat sekolah dasar sampai dengan tahun ketiga (kelas tiga). Setelah itu, harus menggunakan bahasa Indonesia. Karya-karya ilmiah di perguruan tinggi (baik buku rujukan, karya akhir mahasiswa - skripsi, tesis, disertasi, dan hasil atau laporan penelitian) yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa bahasa Indonesia telah mampu sebagai alat penyampaian iptek, dan sekaligus menepis anggapan bahsa bahasa Indonesia belum mampu mewadahi konsep-konsep iptek.
Kuatnya bahasa Ibu atau
bahasa daerah di pedalaman Papua sedikit mengurangi proses dalam
membiasakan menggunakan bahasa Indonesia. Meskipun bahasa Indonesia dan bahasa
daerah bisa dikatakan seiring sejalan, hidup dan berkembang dalam kekuatan
masing-masing budaya setempat, namun bahasa Indonesia sendiri yang belakangan
mulai dikenal setelah bahasa daerah menghadapi tantangan berat. Mengingat
bahasa daerah, hadir lebih dulu menjadi pengikat hubungan internal suku, maka
tak pelak lagi tantangannya sekarang adalah bagaimanamengenalkan bahasa
Indonesia di tengah masyarakat yang begitu kuat berpegang teguh menggunakan
bahasa daerah. Di Papua, melalui pendidikan, bahasa Indonesia sebenarnya sudah
mulai dikenal oleh masyarakat. Bahkan sejak awal Papua mulai
bergabung dengan Indonesia, bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar
dalam proses pendidikan.
Pendidikan sebagai basis kekuatan
pembentukan karakter dan pola pikir, menjadi sarana bagi kelangsungan
nasionalisasi bahasa. Meskipun dalam prakteknya, penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar belumlah maksimal. Yang artinya pemahaman dan proses
pemaknaannya setiap kata belum betul-betul dikuasai. Ini terjadi terhadap
anak-anak Papua dari pedalaman yang akan bersekolah di kota kabupaten. Apa yang
terjadi dalam proses belajar mengajar di pedalaman? Pengalaman menunjukkan
bahwa proses belajar mengajar tidak setiap hari dilakukan, dikarenakan guru
lebih banyak menghabiskan waktu di kota. Entah apa yang terjadi saat ini?
Masihkah para guru melakukannya? Mengapa saya katakan demikian? Guru sebagai
bagian penting dalam proses pendidikan seharusnya bisa menjadi sarana belajar
anak-anak dalam berbahasa. Situasi ini yang membuat lambatnya pengetahuan
berbahasa Indonesia dengan baik.
Dengan pengalaman mengajar
selama di Papua, saya mengamati cukup banyak pengucapan kata yang tidak
lengkap. Misalnya, huruf yang berakhiran “h” dari kata “siapakah” dihilangkan
menjadi “siapaka”. Masih cukup banyak pelafalan bahasa Indonesia yang
tidak diucapkan secara lengkap. Contoh lain adalah “Gunung”, akan diucapkan
menjadi “Gunun”, karena menghilangkan huruf “g”. Umumnya, anak-anak Papua
pedalaman tahu berbahasa Indonesia, tetapi di dalam prakteknya, baik itu
menulis maupun mengucapkan, rata-rata masih kurang. Kendalanya ada pada
pemaknaan setiap kata dan merangkai kata menjadi sebuah kalimat yang mengandung
arti. Untuk itu, guru-guru harus menyediakan waktu lebih banyak, mengondisikan
terjadinya proses belajar mengajar supaya peserta didik memahami pelajaran.
Terkendalanya peserta didik dalam berbahasa ini juga akan menghambat pemahaman
mata pelajaran lain. Tidak hanya pelajaran bahasa Indonesia sendiri, melainkan
pelajaran lain yang menggunakan pengantar bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar dalam proses belajar mengajar, menjadi sangat vital dalam membuka
potensi keunggulan anak-anak Papua. Karena anak Papua ini sebenarnya memunyai
tingkat kecerdasan di atas rata-rata dan tidak kalah apabila disejajarkan
dengan anak-anak non Papua. Hanya saja, sarana-prasarana pendidikan ini cukup
minim, terutama minim metode pengajarannya.Disamping pula tidak banyak guru
yang kreatif untuk memberdayakan potensi terpendam anak- anak Papua. Maka untuk
mengejar ketertinggalannya, ada beberapa faktor yang menjadi fokus
terciptanya penggunaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, yaitu guru dan
metode pengajarannya. Maka dari itu, guru-guru di Papua setidaknya tahu
karakter, kebisaaan, budaya keseharian mereka. Hal ini akan membantu para guru
dalam menciptakan metode pengajaran yang sesuai dengan situasi keseharian
mereka. Untuk itulah, dibutuhkan kesediaan hati dan kepedulian dalam
menciptakan pengajaran yang kreatif.
Bagaimanapun harapan tinggallah
sebagai harapan, apabila harapan ini tidak diwujudkan dalam satu tindakan
serius untuk membangun masyarakat Papua semakin maju, dan melalui pendidikanlah
kemajuan itu bisa diraih. Salam
Tulisan ini akan membahas penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pengantar komunikasi masyarakat Indonesia dalam berbagai bidang.
Materi yang dituliskan didapat dari berbagai sumber.
Pertama definisi dari Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi.
Pertama definisi dari Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya konstitusi.
Meskipun dipahami dan dituturkan
oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi
kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu
dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Penutur Bahasa
Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial) dan/atau
mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya.
Mengingat bangsa Indonesia memiliki
berbagai macam suku yang mencapai ratusan bahkan ribuan sebelum punah , dan
dari berbagai suku tersebut juga memiliki bahasa suku tersebut, jadi tidak
dipungkiri walaupun bahasa Indonesia adalah bahasa pengantar resmi , masih
banyak masyarakat yang menggunakan bahasa dari daerahnya masing-masing sebagai
sarana komunikasi antar masyarakat terutama yang berasal dari satu daerah yang
sama.
Berikut ini adalah bukti dari kedudukan
resmi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sangat penting
seperti yang tercantum dalam:
1.
Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia
2.
Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa,
dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa
Negara ialah Bahasa Indonesia”
Dalam kenyataannya di masyarakat
masih banyak penggunaan bahasa asing yang lebih dominan dibanding penggunaan
bahasa Indonesia , sebagai contoh nyata dalam dunia pendidikan adalah
penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar di sekolah RSBI ( Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional ), adalah ironi dimana bahasa asing digunakan
sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan belajar mengajar, sebetulnya adalah
baik menggunakan bahasa asing sebagai pengantar sehingga siswa bisa lebih
berkompetisi di dunia internasional yang mayoritas menggunakna bahasa Inggris,
namun sekolah yang menggunakan bahasa asing adalah sekolah negri yang dimana
itu merupakan sekolah pemerintah yang harus menjunjung tinggi bahasa Indonesia
, bila sekolah swasta / sekolah asing di Indonesia melakukan hal tersebut tidak
masalah.
Alangkah bijaknya bila penggunaaan bahasa asing sebatas materi yang didapat dari buku berbahasa asing dan kurikulum yang mengikuti standar internasional namun tetap menggunakan bahasa Indonesia.
Contoh lainnya dalam dunia pendidikan adalah menggunakan bahasa daerah di suatu daerah yang masih terpencil , mungkin karena sudah kebiasaan , namun hal tersebut harus dikurangi dan mulai menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam bidang lain penggunaan bahasa asing masih bisa ditolerir seperti kantor yang dimiliki investor asing , menggunakan bahasa asing diwilayah kantor tersebut juga tidak masalah , dan dalam berbagai bidang lainnya seperti bisnis dan ekonomi karena banyak istilah atau teori yang diserap dari dunia internasional yang menggunakan bahasa asing
Alangkah bijaknya bila penggunaaan bahasa asing sebatas materi yang didapat dari buku berbahasa asing dan kurikulum yang mengikuti standar internasional namun tetap menggunakan bahasa Indonesia.
Contoh lainnya dalam dunia pendidikan adalah menggunakan bahasa daerah di suatu daerah yang masih terpencil , mungkin karena sudah kebiasaan , namun hal tersebut harus dikurangi dan mulai menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam bidang lain penggunaan bahasa asing masih bisa ditolerir seperti kantor yang dimiliki investor asing , menggunakan bahasa asing diwilayah kantor tersebut juga tidak masalah , dan dalam berbagai bidang lainnya seperti bisnis dan ekonomi karena banyak istilah atau teori yang diserap dari dunia internasional yang menggunakan bahasa asing
Pada 1951, UNESCO menganjurkan agar
bahasa pengantar yang digunakan di lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah
sebaiknya bahasa ibu anak-anak didik karena bahasa ibu lebih mesra dan lebih
dikuasai oleh anak didik. Akan tetapi, pemerintah Republik Indonesia pada 1953
melalui Undang-Undang Pendidikan menetapkan bahwa di sekolah rakyat 6 tahun,
yang sebelumnya menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar untuk semua
mata pelajaran, hanya boleh digunakan sebagai bahasa pengantar di kelas I-III.
Di kelas IV dan selanjutnya sampai sekolah menengah atas dan perguruan tinggi,
bahasa pengantar yang digunakan harus bahasa nasional, bahasa Indonesia. Pada
waktu itu memang ada anggapan bahwa segala sesuatu yang berbau daerah (bahasa
ibu disebut juga bahasa daerah), membahayakan kenasionalan Indonesia,
seakan-akan bahasa ibu atau bahasa daerah itu merupakan lawan dari bahasa
nasional, bahasa Indonesia.
Untuk
menanamkan rasa kebangsaan dalam diri anak didik diusahakan agar anak didik
sejauh mungkin disingkirkan dari segala sesuatu yang berbau daerah. Mungkin
karena masih ada ketakutan bahwa kesatuan Indonesia akan terpecah-belah menjadi
negara-negara bagian seperti yang diinginkan oleh van Mook sehingga dalam KMB
yang disepakati adalah negara RIS (Republik Indonesia Serikat) meskipun umurnya
hanya beberapa bulan karena rakyat Indonesia menginginkan negara kesatuan.
Pada 1975, pemerintah Orde Baru
menetapkan bahwa bahasa pengantar di semua jenjang sekolah, dari taman
kanak-kanak sampai sekolah lanjutan atas (SLA) dan perguruan tinggi hanya boleh
bahasa nasional. Bahasa ibu hanya boleh dijadikan mata pelajaran. Kemudian
terjadilah keajaiban yang tak dapat dimengerti oleh akal yang sehat, anak-anak
yang baru mengenal bahasa ibunya harus mempelajari bahasa ibunya itu dengan
pengantar bahasa nasional yang belum dikuasainya. Yang lebih ajaib ialah tak
ada anggota DPR atau ahli pendidikan yang mempersoalkan hal itu. Mungkin mereka
tak mengerti akan masalahnya atau tidak tahu akan adanya anjuran UNESCO agar
menggunakan bahasa ibu sebagai pengantar.
Pada masa setelah reformasi, lembaga
pendidikan yang berupa sekolah menjadi lahan bisnis yang marak. Maklumlah, para
pebisnis berpendapat bahwa di Indonesia hanya ada tiga ladang bisnis yang
menjanjikan keuntungan cepat dan besar, yaitu bisnis makanan, bisnis kesehatan,
dan bisnis pendidikan. Mereka berlomba-lomba mendirikan sekolah dari TK sampai
universitas. Supaya menarik calon langganan, yaitu para orang tua murid,
disebutlah bahwa sekolahnya “bertaraf internasional” yang antara lain menggaji
guru dari luar negeri dan menjadikan bahasa Inggris (bahasa internasional)
sebagai bahasa pengantar.
Dr. Daoed Joesoef, yang pernah menjadi
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pernah bercerita bahwa beliau merasa kaget
sekali ketika berkunjung ke salah satu sekolah internasional di Jakarta,
ternyata murid-muridnya sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia.
Memang sejak awal kalau kita
perhatikan, para ahli pendidikan dan para birokrat pengambil keputusan dalam
bidang pendidikan pemerintah Republik Indonesia dalam menyusun kebijakan
pendidikan yang diberlakukan di lembaga-lembaga pendidikan kita tidak pernah
mementingkan anak didik. Barangkali tidak pernah kepentingan anak didik masuk
ke dalam kepalanya ketika merencanakan kebijakan pendidikan. Yang selalu
didahulukan ialah kepentingan nasional – entah apa pun artinya. Kemudian
kehendak agar anak didik menjadi pancasilais, pernah agar menjadi manipolis
sejati, pernah agar menjadi sosialis religius, dan entah apa lagi. Akan tetapi,
tak pernah ada kehendak untuk membuat anak didik menjadi dirinya sendiri sesuai
dengan kodrat dan bakat yang dipunyainya.
Yang menyedihkan ialah karena ternyata
anak-anak lulusan lembaga pendidikan selama ini tidak mencapai tujuan seperti
yang dikehendaki para pengambil kebijakan pendidikan itu. Sudah sejak lama ada
keluhan bahwa anak-anak kita lulusan sekolah-sekolah itu luntur rasa
nasionalismenya, rendah kemampuan berbahasanya, baik bahasa nasional maupun
bahasa Inggris. Jangan disebut kemampuannya berbahasa ibu. Belum lagi
kemampuannya dalam bidang-bidang ilmu yang diajarkan.
Sudah beberapa tahun timbul wacana
tentang kegagalan pendidikan kita. Berbagai usaha untuk meningkatkan mutu
pendidikan kita tidak juga ada hasilnya. Entah sudah berapa kali dibentuk
komisi pendidikan yang anggota-anggotanya terdiri atas para ahli pendidikan,
dan entah sudah berapa tebal saran-saran yang dihasilkannya, tetapi keadaan
pendidikan kita tetap menyedihkan. Bahkan kian lama bukannya kian membaik,
malah kian melorot.
Sangatlah
menarik berita yang berjudul “Bahasa Asing Jangan Jadi Bahasa Pengantar” dengan
judul tambahan “Bahasa Ibu Tentukan Keberhasilan MDG’s” (Kompas, 11 November
2010, hlm. 12). Di situ diberitakan bahwa dalam konferensi internasional MDG’s
(Language, Education, and the Millenium Development Goals) yang
diselenggarakan di Bangkok, Thailand, para pesertanya mengkhawatirkan pemakaian
bahasa Inggris (asing) sebagai bahasa pengantar pendidikan malah bisa
menyebabkan para siswa kebingungan dan tidak mengerti persoalan dan menimbulkan
salah pengertian.
Para ahli peserta konferensi yang
mempunyai pengalaman yang luas itu menyatakan bahwa penggunaan bahasa asing
yang terlalu dini di taman bermain atau di taman kanak-kanak akan mengacaukan
kemampuan berbahasa anak. Suzanne Romaine, ahli bahasa Inggris dari University
of Oxford, Inggris, menyatakan,
“Ajarkan bahasa ibu dahulu. Baru
seiring dengan itu, sedikit demi sedikit, ajarkan bahasa lain.”
Pernyataan itu barangkali dapat
menyadarkan para ahli pendidikan kita, paling tidak merangsang pertanyaan dalam
nuraninya, apakah kegagalan pendidikan yang kita alami sekarang ini bukan
akibat dari kita tidak mempergunakan bahasa ibu di sekolah-sekolah kita? Bahasa
Indonesia bagi anak-anak kita, terutama yang tinggal jauh di daerah, adalah
bahasa baru.
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE