Tanah Melayu, Hatiku Tertambat Padamu
Sampai sudah aku disini, dipulau
melayu. Tempat dimana Ibuku dibesarkan. Sejujurnya aku malas sekali untuk
kesini, disini tidak begitu seru, orang-orangnya tidak seperti di kota, mereka
kampungan. Pakaianya saja masih mengenakan baju melayu, katanya ingin memajukan
bangsa tapi heran, kok masih kuno! Ku lihat Ibu bahagia sekali bertemu
teman-temannya. Aku binggung dengan pemikiran Ibu, kenapa kami harus berlibur
ke pulau ini. Saat Ibu mulai memasuki perkampungan, aku hanya bisa mengikutinya
dari belakang sambil membawa barang bawaanku. Rasanya pegal sekali membawa
banyak barang sambil berjalan. Tanpa terasa akhirnya kami sampai juga di rumah
masa kecil Ibu. Hm, apa Ibu tidak salah memilih rumah? Ini bukan rumah namanya,
rumah apaan ini, kecil sekali! Akupun berjalan cepat kearah Ibu dan membisikkan
sesuatu.
“Bu.. Ini rumah apaan? Cika gak mau
tinggal disini Bu, kecil sekali rumahnya”. Bisikku kepada Ibu.
“Nanti kamu juga akan betah tinggal
disini, mungkin bisa-bisa kamu tidak ingin pulang”. Jawab Ibu sambil berjalan
masuk ke arah rumah itu. Lagi-lagi aku hanya bisa mengikuti Ibu dari belakang.
Saat masuk, kulihat seisinya. Sebuah pajangan yang aku tak tahu bentuknya apa
tapi tergantung rapi. Aku mulai berjalan ke arah kamarku, kulihat kasurnya
kecil, bukan hanya kasur tetapi kamarnya juga sempit. Aku hanya bisa pasrah melihat ruangan kecil
ini. Aku mulai melangkahkan kakiku untuk masuk, saat sampai aku pun mulai
rapikan semuanya, ku susun baju-baju ke dalam lemari, dan segala keperluan ku
siapkan diatas meja. Setelah semua beres, aku segera membersihkan diriku.
Tak
lama, aku mendengar Ibu memanggil namaku dari ruang tengah, bergegas keluar aku
dengan badan yang sudah segar. Ternyata Ibu sudah dari tadi menungguku untuk
makan bersama, aku mulai menggambil piring yang terletak di depan mataku. Saat
ingin mengambil makaan, seketika mataku membulat lebar. Makanan apa ini? Aku
tak pernah mencoba makanan ini sebelumnya. “Bu.. Ini makanan apa? Cika gak suka
Bu, Cika mau makan ayam aja”. Ucapku penuh jengkel.
“Disini bukan seperti di kota Cika,
kamu makan saja apa yang ada. Enak kok.” Jawab Ibu. Aku segera memakannya
meskipun agak terpaksa. Selesai makan, perasaan bosan menghantuiku di pulau
ini, aku segera pergi keluar untuk mencari angin malam. Bagiku, tidak ada yang
perlu ku lihat, tidak ada yang membuatku nyaman. Aku duduk di kursi yang berada
tepat di bawah pohon. Tidak berapa lama aku di situ, ada seseorang
menghampiriku.
“Macam baru nampak, ‘mike’ orang
baru?” Tanya orang itu dengan logat melayunya. Aku hanya bisa dim dan
melihatnya aneh.
“Saye Nurhaliza, penduduk pulau ini.
Saye sangat senang disini ade penduduk baru. Semoge kite bise bekawan dengan
baik ye.” Ternyata orang itu Nurhaliza, dan apa dia bilang? Berteman? Aku tidak
akan mau berteman dengannya.
“Esok, saye nak jemput engkau. Saye
nak kenalkan engkau dengan pulau ini. Dan saye juga nak ajak engkau cicipi
masakan mak saye. Sampai jumpa esok ye.” Anak itupun pergi meninggalkanku
sendiri. Aku tidak peduli dengan apa yang akan dia lakukan besok. Hari semakin
gelap, angin sudah menjadi semakin dingin. Aku segera masuk ke dalam rumah.
Keesokan
paginya, aku terbangun karena suara ayam yang berisik sekali. Bergegas aku
membersihkan diri, setelah selesai membereskan tempat tidur, aku lalu beranjak
keluar rumah untuk mencari angin pagi. Karena tidak tahu apa yang harus
kukerjakan disini, bagiku semuanya membosankan. Ditengah lamunan pagi itu,
datang seseorang yang kemarin menghampiriku, yang ku ingat dia Nurhaliza.
“Hei.. anak gadis, jom ikut saye, saye
nak kenalkan engkau dengan teman-teman saye.” Tutur Nurhaliza.
Aku hanya terdiam, namun dia segera
menarik tanganku. Akhirnya mau tak mau aku harus mengikutinya. Sepanjang
perjalanan dia terus bercerita, entah apa yang diceritakannya akupun tak
mengerti. Tak terasa kami telah sampai, aku melihat banyak sekali gadis
seusiaku menggerakkan tubuh dan tangannya. “Ngapain kamu bawa aku kesini?”
Tanyaku yang mulai bingung. “Macam janji saye, saye nak ajak engkau menari dengan
saye.” Jawabnya sambil menarik tangan dan dibawanya aku ke pondok tempat para
penari itu. Selesai menari, Nurhaliza mengajakku ke rumahnya, katanya saat ini
Ibunya memasak banyak untuk menyambut kedatanganku. Setelah tiba dirumahnya,
aku disambut dengan baik, dan Ibunya pun mengajakku untuk mencicipi masakannya.
Aku tertegun melihat hidangannya. “Roti prata?” Ucapku dengan ekspresi bingung,
yang menjadi pertanyaanku ialah, disini pulau, kenapa ada prata? Bukannya prata
makanan orang kota? Apa pulau melayu ini pulau elit? “Ini name die roti jala”
Nurhaliza mengenalkan makanan itu. “Ini roti prata, bukan roti jala.” Bantahku
yang tidak terima nama makanan itu dibuah-ubah. “tempat engkau memang sebot
bende ini roti prata, disini name die roti jala” setelah mendengar jawabannya
itu, aku hanya bisa terdiam. Banyak makanan yang dikenalkannya, ada bolu
kemojo, ikan salai, kue bangkit, asidah, dan masih banyak lagi.
Hari
sudah semakin gelap, aku diantarkan pulang oleh Nurhaliza. Saat aku sampai di
rumah, kulihat Ibu tengah berdiri di depan pintu sambil melipatkan kedua
tangannya. “malam cik, maaf ye anak gadis mak cik balek lame. Tadi saye ajak
die pergi keliling pulau untuk bermain.” Ucap Nurhaliza dengan sopan. Ibu yang
sudah mendengar penjelasan Nurhaliza pun bernafas lega. Ibu menyuruhku masuk
untuk membersihkan diri. Usai membersihkan diri. Usai membersihkan diri, aku
duduk di samping Ibu dan bercerita. “Bu, tadi Nurhaliza mengenalkanku dengan
makanan khas melayu, rasanya enak-enak Bu. Aku suka.” Ucapku kegirangan. Ibu
yang mendengar itu hanya bisa menatapku dengan bingung. “Tumben kamu mau
menceritakan makanan melayu? Bukannya kamu tidak suka dengan pulau ini?”
Pertanyaan Ibu sukses membuatku terdiam, aku juga tidak tahu mengapa aku bisa
menyukai pulau ini. Daripada aku harus mendengar pertanyaan yang membuatku
tidak bisa menjawab, lebih baik aku mengistirahatkan diri di kamar.
Pagi
ini, lagi-lagi aku dibangunkan dengan suara ayam yang berisik, cepat aku
berdiri dan bergegas membersihkan diri, takut Nurhaliza menjemput lebih awal.
Selesai membersihkan diri, aku melangkah ke teras bermaksud menunggu kedatangan
Nurhaliza. “kamu ngapain disitu nak?” Tanya Ibu yang berada di depan pintu.
“Nungguin Nurhaliza Bu.” Jawabku singkat. “memang kalian mau kemana?” Tanya Ibu
lagi. “Mau menjelajah pulau melayu BU” Jawabku sedikit bercanda. Dan seketika Nurhaliza
muncul dihadapanku. Aku tersenyum karena apa yang kutunggu tak sia-sia. Kamu
mulai berjalan untuk menjelajah pulau melayu ini. Aku tak tahu Nurhaliza akan
membawaku kemana, aku hanya bisa mengikutinya saja. “Nur kita mau kemana lagi?”
tanya ku. “Saye nak kenalkan engkau dengan pantai cantik kat sini.” Jawab
Nurhaliza yang sontak membuatku terkejut. Jujur aku tak suka pantai, pantai
terlalu kotor bagiku. “Tidak, aku tidak mau! Aku benci dengan pantai.” Ucapku
sambil memberhentikan langkah. “Mengape engkau tak suka pantai?” Tanya
Nurhaliza yang ikut berhenti juga. “Pantai itu kotor! Banyak sampah, aku tidak
suka disana bau.” Jawabku dengan gampang. Nurhaliza tertawa melihatku. Aku
bingung apa yang dia tertawakan. “engkau ni lucu lah, engkau tenang je, pantai
kat sini bersih sangat. Nanti kalau kite dah sampai, pasti engkau tak nak
balek.” Lagi-lagi aku mendengar omongan Nurhaliza. Ada rasa penasaran
dibenakku, aku mencoba mengikutinya untuk membuktikan ucapannya.
Aku
kaget benar apa yang Nurhaliza katakan, pantainya bersih, pasirnya putih, dan
airnya bawarna biru muda. Ini adalah pantai pertama yang pernah kulihat
sebersih ini. Aku bermain sampai puas di pantai ini. Senja pun tiba, Nurhaliza
sibuk mengajakku pulang. Saat sampai dirumah, aku meceritakan semuanya kepada
Ibu. Pantai bersih, teman yang seru, permainan yang baru, dan makanan yang enak
enak. Aku sangat bersemangat saat menceritakan itu semua. Hingga akhirnya Ibu
mengangkat pembicaraan. “dua hari lagi kita pulang nak, kamu puas-puaskan saja
ya bermain-main disini.” Ucap Ibu. Seketika badanku lemas mendengarnya. “yahh..
Bu, tambah seminggu lagi dong.” Mohonku. “Tidak bisa Cika, kamu harus kembali
sekolah. Nanti setelah kamu lulus kita akan kembali lagi.” Malam ini, aku
kembali duduk di kursi bawah pohon. Berharap Nurhaliza datang dan menemaniku.
Lama aku menunggu, namun Nurhaliza tak kunjung datang, aku masuk dan mulai
mengistirahatkan tubuhku.
Paginya
aku tidak lagi dibangunkan dengan suara ayam. Tetapi dibangunkan dengan
penduduk pulau yang berisik. Aku bangun untuk melihat, ternyata semua orang
tengah bergotong-royong. Aku segera mandi dan duduk di kursi depan untuk
menunggu Nurhaliza. Namun dia tidak kunjung datang, aku memutuskan untuk masuk
saja ke rumah. Sewaktu asyik bersantai, Nurhaliza datang. Aku senang, aku
segera keluar untuk menyambutnya. “Kenapa kamu baru datang sekarang Nur? Aku
sudah menunggumu dari tadi pagi.” Tanyaku. “Maaf ye Cika, saye dah buat enkau
menunggu, saye tadi ikut gotong-royong.” Jawaban Nurhaliza sukses membuatku
diam. “Ngapain kamu bergotong-royong? Biarkan saja orang dewasa yang
mengerjakannya.” Tanyaku cuek. “Tak boleh macam tu, kami nak pulau ni dan juge
bangse ni maju, bukan hanya dengan tradisi je tapi juge dengan kebersihannye.
Sekarang ini banyak orang yang tak peduli lagi dengan tempat tinggal mereka.
Makenye banyak pulau-pulau yang sampahnye beserak kat mane-mane.” Jawabnya.
“Lalu bagaimana kalian bisa peduli?” Tanyaku. “ sadar diri je, dengan banyaknye
sampah atau kotoran di sekitar kite, tubuh kite tak bisa sehat. Banyak orang
nak sehat namun tetap mereka menyerakkan sampah dimane-mane. Kalau aja mereka
sadar.. pasti tak akan banyak penyakit di tubuh mereka.” Jawab Nurhaliza. Kini
aku banyak belajar dari Nurhaliza, tentang budaya melayu, tradisi-tradisinya
dan juga kebersihan lingkungannya. Aku ingin lebih banyak lagi belajar dengan
Nurhaliza, namun waktu tak mengijinkan, karena dua hari lagi aku harus sudah
kembali kekota. “Nur.. dua hari lagi aku akan kembali ke kota.” Tuturku.
“waah.. bagus lah.” Jawab Nurhaliza membuatku binggung. Apa dia tidak merasa
kehilangan? Mendengar berita itu saja sudah membuatku lemas. “Kamu senang aku
pergi?” Tanyaku lagi. “Bukan macam tu, kalau engkau balek ke kota engkau, pasti
engkau akan kenalkan pulau ni same orang kota, dengan begitu pasti semue orang
akan kenal dengan pulau ni dan juga tradisi-tradisinye.” Ucapnya. Benar apa
yang dikatakan Nurhaliza, aku akan menceritakan liburan ini. “Kalau engkau
balek nanti, jangan lupa same semue kebudayaan melayu ini. Sekarang budaye
melayu ni dah hampir punah kerana zaman modern yang mendalam.” Ucap Nurhaliza.
“pasti.” Jawabku tersenyum.
Kini
tiba dimana hari aku kembali ke kotaku, banyak hal yang aku pelajari disini.
Dari kebudayaan melayu, tradisinya dan juga cara menjaga lingkungan kita. Kini
aku sadar, budaya melayu mengajarkan aku banyak hal. Aku juga sangat berterima
kasih kepada Nurhaliza, ia telah mengenalkanku dengan semua yang ada di pulau melayu
ini. Tak lebih lagi, ia juga menyadarkan aku untuk mengetahui tentang
lingkungan. Dari liburan ini aku banyak belajar, bahwa kita harus menjaga dan
melestarikan budaya kita, dengan cara mengenalkannya kepada orang-orang yang
belum mengenal budaya kita. Dan juga kita harus menjaga dan melestarikan
lingkungan kita.
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE