Setiap kali menyeberangi sungai, Sersan Kasim merasakan sesuatu keharuan
yang mendenyutkan jantungnya. Seolah-olah ia berpisah dengan sesuatu, sesuatu
dalam hidupnya. Makin besar sungai itu, makin besar pula keharuan yang
menggetarkan sanubarinya.
Kini, kembali ia akan menyeberangi sebuah sungai. Sekali ini bukan sungai
kecil, melainkan salah satu sungai yang terbesar di Jawa Tengah, Sungai Serayu.
Sersan Kasim adalah Kepala Regu 3, Peleton 2 dari kompi TNI terakhir yang
akan kembali ke daerah operasinya di Jawa Barat. Tentara Belanda telah
menduduki Yogya, persetujuan gencetan senjata telah dilanggar, dan Republik
tidak merasa terikat lagi oleh perjanjian yang sudah ada.
Jam satu malam cuaca gelap gulita dan murung, hujan turun selembut embun
namun cukup membasahkan. Hati-hati Kasim memimpin anak buahnya menuruni tebing
yang curam dan licin. Ia sendiri berjalan dengan sangat hati-hati, menggendong
bayi pada panggulnya sebelah kiri. Dari bahu kanan bergantung sebuah sten.
Hanya samar-samar matanya yang terlatih melihat orang yang berjalan di
depannya. Untuk memudahkan penglihatan, tiap-tiap prajurit yng kurang baik
penglihatannya, memasang sepotong cendawan yang berpijar pada punggung kawan
yang berjalan di depannya.
Sepuluh bulan yang lalu, pada bulan Februari 1948, Sersan Kasim juga
menyeberangi Sungai Serayu dengan kompinya. Tatkala itu mereka berjalan ke arah
timur. Persetujuan Renville telah ditandatangani dan pasukan-pasukan TNI harus
hijrah ke kantong-kantong dalam wilayah de facto Belanda. Banyak diantara
bintara dan prajurit yng membawa serta anak istrinya.
Ketika itu Sersan Kasim telah setengah tahun menikah. Istrinya yang belia
sudah lima bulan mengandung. Namun, ia memaksa mengikuti suaminya ke wilayah
kekuasaan Republik. Pernah terpikir oleh Kasim untuk menitipkan istrinya kepada
mertuanya di Pager Ageung. Tapi tidak sempat, lagipula Aminah tidak mau
ditinggalkan. Ia bersitegang hendak ikut. Dan siapa yang dapat bertahan
terhadap sifat keras kepala wanita yang sedang mengandung?
Dua bulan setelah mereka tiba di Yogya, Acep dilahirkan. Matanya hitam
tajam, meskipun badannya sangat kecil, dan rambutnya lebat seperti hutan di
Priangan. Tapi untuk melahirkan anaknya, Aminah telah menggunakan sisa-sisa
tenaga rapuhnya yang terakhir. Ia meninggal sehari kemudian karena kepayahan.
Acep dapat dipertahankan hidupnya berkat rawatan khusus para dokter dan juru
rawat di rumah sakit tentara.
Kini Sersan Kasim berjalan kembali ke Jawa Barat. Kali ini jarak antara
Yogya dan Priangan Timur harus mereka tempuh dengan berjalan. Tidak ada truk
Belanda yang mengangkut, tidak ada kereta api Republik yang menjemput. Mereka
berjalan kaki, menempuh jarak lebih dari 300 kilometer, turun lembah, naik
gunung, menyeberangi sungai kecil dan besar.
Akhirnya mereka kembali di tepian Sungai Serayu, akan tetapi jauh kesebelah
hulu, di kaki pegunungan daerah Banjarnegara. Kini tiada jembatan, tiada
titian. Mereka harus terjun ke dalam air.
Perlahan-lahan Sersan Kasim menuruni tebing yang curam. Ia menggigil
dilanda angin pegunungan dari sebelah lembah. Dengan cermat ia perbaiki letak
selimut berlapis dua yang menutupi Acep dalam gendongan. Acep, biji matanya,
harapan idamannya. Kemudian, dengan satu gerakan ia usap air hujan pada
wajahnya sendiri. Ia menggigil lagi. Iring-iringan sekonyong-konyong berhenti.
Prajurit di depannya juga menggigil. Mereka menggigil berdekat-dekatan.
Kemudian ada pesan dari depan.
“Kepala Regu, kumpul!” dibisikkan dari mulut ke mulut. Kasim berjalan ke
muka. Komandan Peleton sudah menanti di depan Regu I. Mereka menerima instruksi
mengenai penyeberangan.
Menurut intelligence, musuh menjaga tepian sana dengan kekuatan satu kompi.
Sungai diawasi mulai bagian yang airnya setinggi perut. Karena itu pasukan akan
menyeberangi lebih ke hilir. Ada kemungkinan air mencapai dada. Perintis telah
menyiapkan tali untuk berpegangan.
”Ada pertanyaan?” tanya Komandan Peleton.
Tidak ada yang menyahut. Samar-samar Sersan Kasim melihat pandangan
Komandan tertuju kepadanya.
”Bagaimana bayimu?” tanya Komandan.
“Tidur Pak,” jawab Kasim singkat.
”Kalau pikiranmu berubah, masih ada waktu untuk menitipkannya pada barisan
keluarga.”
Kasim tak segera menjawab. Sebentar pikirannya melayang kepada para wanita
dan kanak-kanak yang dititipkan kepada Pak Lurah dan penduduk Karangboga. Kalau
situasi aman, mereka akan diseberangkan sedikit demi sedikit oleh rakyat.
Mereka akan dijemput oleh satu regu di seberang sungai setelah
diberitahu oleh kurir.
”Sersan Kasim tinggal. Lainnya bubar!” kata Komandan menembus kesepian.
Kepala regu lainnya kembali kepada anak buahnya.
Lagi Kasim merasa pandangan mata Komandan tertuju kepadanya dan kepada
anaknya. Kasim tahu apa arti pandangan itu. Ya, ia tahu sebenarnya Komandan
ingin bertanya, apakah ia menyadari bahwa tangisan seorang bayi dapat membawa
kebinasaan bagi lebih dari seluruh kompi. Bahwa bayinya, si Acep, dapat
mmbahayakan jiwa lebih dari seratus orang prajurit. Itulah yang tersirat dalam
pandangan Komandan.
Pandangan Komandan itu seolah-olah berkata, ”Ingatlah Kompi 3 batalyon B
yang kehilangan 16 prajurit dan 10 keluarga, karena serangan mendadak oleh
musuh. Hanya karena seorang bayi yang menangis. Tangis yang dengan cepat
menular pada beberapa anak kecil lainnya”.
Samar-samar Sersan Kasim mendengar derau sungai di bawah. Dia bayangkan
kesunyian malam yang aman dirobek-robek oleh letusan senjata. Dia bayangkan
kompinya terjebak di tengah-tengah sungai, tak berdaya.
Tatkala itu Acep bergerak-gerak dalam gendongan bapaknya. Kasim merasa
anaknya menyusup-nyusupkan kepala ke dadanya, ke ketiaknya, seakan-akan mencari
perlindungan yang lebih aman. Rasa sayang membual keluar dan menyesakkan
kerongkongan Kasim. Anakku yang tak sempat mengenal ibunya, pikirnya. Anakku
yang disusui oleh botol. Dan kini dia harus dititipkan pada orang lain! Untuk
berapa lama? Dan amankah dia dalam asuhan orang lain? Akan selamatkah dibawa
orang asing dalam penyeberangan nanti? Anak lelaki titipan satu-satunya, pusat
rasa yang sehalus-halusnya, peninggalan istri yang setia dan keras hati. Cucu
yang akan dibawanya sebagai oleh-oleh untuk orang tuanya di Garut, untuk
mertuanya di Pager Ageung, sebagai tanda mata anak dan menantu dari istrinya
tercinta yang telah meninggal.
Sersan Kasim membelai anaknya yang dalam gendongan, ”Saya minta izin untuk
membawanya,” katanya.
”Kau yakin dia tidak menangis?”
”Insya Allah, tidak.”
”Baik kalau begitu. Hati-hati saja.”
”Siap Pak. Terima kasih.”
Ketika giliran peletonnya untuk menyeberang, Kasim menggigil lebih keras
lagi. Bukan hanya karena hujan tambah keras turun. Bukan hanya karena angin
pegunungan yang menembus sela-sela rusuknya. Ia juga menggigil karena Acep
mulai resah dalam gendongannya. Air hujan sudah merembes masuk mengenai
kulitnya dan ia menggeliat-geliat kebasahan dan kedinginan.
Sersan Kasim mulai memegang tali yang terentang dari tepi ke tepi. Air
membasahi kakinya, membasahi celananya, membasahi sebagian bajunya,
menjilat-jilat gendongan anaknya. Ia mulai repot meninggikan anak dan
senjatanya bersama-sama. Pada suatu saat ia terperosok ke dalam lubang pada
alas sungai dan ia terhuyung-huyung dilanda arus yang deras dan dingin. Air
mencapai dada, merendam anaknya. Dan tiba-tiba Acep menangis....
Acep menangis.
Melolong-lolong.
Merobek-robek kesunyian malam dari tebing ke tebing. Suaranya tajam
menyayat hati. Menyayat hati bapaknya, hingga sesak bagaikan tak dapat
bernapas.
Di hulu sungai, sebuah peluru kembang api ditembakkan ke udara. Malam jadi
terang-benderang. Seluruh kompi menahan napas. Masing-masing terpaku pada
tempatnya. Peleton 1 di seberang sana. Peleton 3 di seberang sini, sedangkan
Peleton 2 di tengah-tengah sungai. Di tengah-tengah Peleton 2 itulah Acep
menangis pada dada bapaknya.
Tak ada orang yng mengetahui dengan pasti, apa yang terjadi dalam beberapa
menit, yang terasa seperti berjam-jam. Juga Sersan Kasim tidak sadar. Ia hanya
tahu anaknya menangis, setiap saat musuh dapat menumpas mereka dengan senapan
mesin dan mortir di bawah peluru cahaya kembang api yang telah mereka
tembakkan. Seluruh kompi memandang kepada dia, bergantung kepada dia. Nasib
seluruh kompi tertimpa pada bahunya.
Sejurus kemudian suara Acep meredup. Sesaat lenyap sama sekali.
Sunyi turun kembali ke bumi, berat menekan di dada sekian puluh lelaki yang
jantungnya berdegup seperti bedug ditabuh bertalu-talu. Kembang api di langit
mulai mati, dan kelam mulai menyelimuti kembali suasana di lembah sungai itu.
Kini yang terdengar hanya derau air yang tak putus-putusnya ditingkahi oleh
kwek-kwek katak di tepian. Beberapa menit kemudian kompi menghela napas lega
dan selamat tiba di seberang.
Keesokan harinya, pada waktu fajar merekah, kompi menunda perjalanannya
sementara waktu, meskipun masih terlalu dekat kepada kedudukan musuh. Mereka
berhenti pada sebuah desa. Dengan bersama Pak Lurah dan banyak diantara
penduduk, mereka berkumpul di pinggir desa. Di sana, dalam upacara yang
singkat, Acep diturunkan ke liang kubur. Kemudian semua mata tertuju kepada
sosok tubuh Sersan Kasim yang berjongkok di hadapan pusara kecil yng baru
ditimbun. Kepalanya terkulai, menunduk.
Akhirnya, ia berdiri dan memandang ragu-ragu sekeliling. Kesedihan yang
dalam, jelas terukir pada wajahnya. Baju seragamnya tampak kuyup, hingga
lehernya. Komandan kompi tampil ke muka. Ia menghampiri Kasim. Ia menggenggam
tangan kanan sersannya dalam kedua belah tangan. Matanya merah, tidak hanya
kurang tidur. Dalam angan-angannya terbayang Nabi Ibrahim, yang siap
mengorbankan putranya. Tapi ia tak berkata apa-apa.
Setengah jam kemudian, kompi melanjutkan perjalanannya pada punggung bukit
yng sejajar dengan tebing sungai. Matahari telah naik, menghalau kabut
kemana-mana, memanasi bumi yang lembap oleh hujan semalam. Ditengah-tngah
barisannya Sersan Kasim berjalan dengan sten tergantung sunyi pada bahunya.
Jauh di bawah, di lembah yang dalam, Sungai Serayu sayup-sayup menderau.
Keharuan yang luar bisa kini meluap-luap dalam dada Sersan Kasim, membanjir,
menghanyutkan. Dan ia berjalan terus.
Dan di bawah, sungai mengalir terus.
(Sumber: Kumpulan Cerpen Rasa Sayange, 1998)
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE