Senja itu menawarkan kenangan
yang tak bisa kucegah dengan kemunafikan. Sosok gadis berparas sederhana dengan
hiasan simpul senyum tipis melintas secara perlahan. Aku kembali mengingat
pertemuan singkat dua pasang bola mata yang merupakan awal mulanya. Ia tak
pernah berbuat apa-apa tapi bagaimanapun aku harus mengucapkan terima kasih
kepada penguasa semesta. Namun Sekali lagi, ia tak perlu berbuat apa-apa, yang
penting, aku cinta.
Kesibukan harianku sebagai
murid baru tak lagi mengurusi pelajaran-pelajaran. Untuk sementara, aku
mengubah haluan. Aku harus tahu siapa gadis itu? Dia duduk di kelas berapa? Dia
tinggal dimana? Bagaimana kepribadiannya? Apakah perilakunya selaras dengan
wajah manisnya? Dia anak ke berapa? Apa dia punya kakak disini? Atau dia anak
semata wayang dengan identik sifat manja? Oh Tuhan, mengapa bisa dia terlihat
lebih menawan dibanding gadis lainnya? Ah, bagaimana pun juga, aku harus
mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang menghantui pikiranku ini.
Keesokan hari, aku masih
malu mencari tahu. Sepulang sekolah, aku menyesal. Lusa, aku masih ingin
mencari tahu, tapi tugas sekolah terlalu banyak. Dua hari kemudian aku berniat
datang ke kelasnya, tetapi ia tak hadir hari itu. Kembali keesokan hari, di
waktu yang tepat, kami berpapasan di kantin, ahh gagal, mentalku kembali ciut. Hari sabtu aku bermaksud
menanyakan dia lewat teman dekatnya, namun aku yang tak sekolah karena bangun
kesiangan. Payah!
Kirana. Itulah
namanya. Bahkan tak perlu aku yang sibuk mencari, ada temanku yang mengabari.
Dalam hatiku menggerutu, (kenapa gak dari
dulu). Aku mulai memberanikan diri untuk sekadar menyapa dan melakukan
aktivitas bersama. Aku mencoba terlihat biasa saja seperti yang lainnya. Dan
ternyata menutupi perasaan suka itu memang tak semudah mencari nama. Ada
perasaan menggebu supaya hal ini harus diketahui dengan saksama dan dalam tempo
yang sesingkat-singkatnya.
Ah, ternyata aku terlalu
percaya diri. Tanpa sadar bukan hanya aku yang mengagumi. Kabar angin gemar
sekali mondar-mandir di telinga. Sekadar memberitahu siapa-siapa saja saingan
yang pantas dijadikan lawan. Mulai dari kawan sekelas, kawan beda kelas, sampai
ke abang-abang kelas. Lagi-lagi, ia tak perlu berbuat apa-apa, begitu banyak
penggemarnya. Namun aku tetap pada pendirianku. Bertahan dengan rasa yang ada,
berjuang dengan cara yang sederhana, mencoba mengambil hatinya, dan
meletakkannya di singgahsana paling mulia.
Setahun berlalu. Dua tahun
berlalu. Entah sudah berapa tahun berlalu. Aku masih dengan perasaan yang sama
dan untuk orang yang sama, Kirana.
Nama ini adalah sumber motivasi dari kelakuanku akibat salah pergaulan. Aku
pernah melakukan kesalahan yang tak bisa diampuni negara sebagai anak
sekolahan. Aku di karantina sebagai imbalan perbuatan yang salah. Setahun sudah
aku merasakan menjadi orang paling gagal yang hidup di muka bumi ini, dan aku
menyesal. Aku malu. Hasilnya adalah namaku semakin dicap buruk di mata
keluarganya. Aku dijauhi Kirana. Namun aku tetap cinta.
Aku tak ingin memperbaiki
namaku yang tercemar buruk. Aku hanya berprinsip bahwa aku harus berubah dan
memperbaiki diri sendiri terlebih dahulu. Anggap saja bahwa pengalaman adalah guru
yang paling berharga dalam hidup. Aku harus menjadi lebih dewasa dalam berpikir
dan bertindak. Karena cinta bukan hanya penilaian hati, melainkan juga
penilaian diri. Dan kembali lagi aku menyesal, melakukan kesalahan padahal ada
yang memotivasi. Maafkan aku, Kirana.
Kita sempat jauh, entah
sudah berapa juta detik lamanya. Rindu, sudah pasti. Malu, sudah tentu. Aku
mencoba memahami keadaan, dimana aku bukanlah lelaki yang pantas untuk gadis
baik sepertinya. Namun, waktu tak sengaja mempertemukan kami kembali. Gadis itu
masih sama, ia masih begitu sederhana. Simpul senyum tipis itu masih menghiasi
wajah manisnya. Kirana. Ia tak
sedikitpun berubah. Ia masih menyapaku dengan nada seperti biasanya. Ia tak
membenciku dengan kesalahan-kesalahan yang begitu kuat aku menyesalinya. Ia
menanyakan kabar, menunjukkan simpati, dan kembali memotivasi. Aku beryukur.
Sungguh, aku bersyukur. Kini, ia telah berbuat sesuatu, dan aku semakin cinta.
Sekarang aku merasa aku
terlahir sebagai orang yang baru. Aku mencoba untuk menjadi manusia yang lebih
baik dan berguna dari sebelumnya. Aku ingin mengubah pola pikirku untuk menjadi
makhluk yang bermanfaat bagi Tuhan dan penghuni jagad raya, terutama Kirana. Aku tak perlu lagi sibuk
mengutarakan isi hati, karena gadis itu sudah mengetahui semuanya. Aku hanya
perlu memperbaiki segala khilaf dan salah sebagai eksistensi anak remaja. Kini
aku akan mencoba dewasa dalam berpikir dan bertindak sebagaimana baiknya.
Mungkin dengan begitu, cinta akan luluh pada masanya. Dan terakhir, Kirana tak perlu berbuat apa-apa, aku akan
selalu cinta dia.
Dari pengagum yang bukan
lagi rahasia
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE