PULANG
Pernikahan itu akhirnya
dilangsungkan di Kampung Bulang, tepat dikediaman Amiru yang memiliki anak
perempuan, Arlena. Dengan berat hati Amiru merestui pernikahan Arlena dengan
pemuda kampung sebelah yang terkenal kenakalannya itu, Bujang. Pesta yang
dibuat dengan sekadarnya itu sudah cukup untuk masyarakat perkampungan sekitar,
dengan mengundang sanak saudara, kerabat dekat, sesepuh, dan para tetangga
sekitar rumah.
Arlena sebagai anak ketua RT 02 di Kampung Bulang
yang mempunyai sifat ramah, supel, pintar, dan baik hati. Kehamilan ini seperti
kejadian diluar kesadarannya yang dikuasai oleh Bujang kala itu. Ia tak mampu
berbuat apa-apa, selain menikah dengan Bujang, meskipun dalam diamnya ia jatuh
hati sejak kelas 1 SMA pada Askar Suwanda.
Seminggu setelah pernikahan, Arlena
beranjak keluar rumah orang tua untuk menjalani kehidupan mandiri bersama
Bujang. Mereka menyewa rumah kontrakan di sekitar perkotaan, sehubungan dengan
Bujang hendak mengais rezeki disana.
Di rumah kontrakan sore
itu, Arlena yang belum terbiasa mengerjakan pekerjaan ibu rumah tangga menunggu
kepulangan Bujang suaminya. Ia tak ahli dalam masak-memasak, lagipula mereka
belum memenuhi semua kebutuhan peralatan rumah tangga. Dari pagi hingga sore,
ia hanya malas-malasan di dalam kamar, setelah itu duduk, baring, duduk lagi,
meratap.
ADEGAN
I
Arlena : (Termenung,
meratapi nasib, menahan tangis) “Hah, beginikah nasibku? Entah mengapa ketika
itu aku pergi ke Kampung Dompak, menuruti undangan mengisi tarian dalam acara
peresmian Pak RW yang baru.” Pungkasnya penuh sesal.
“Mengapa pula, pak RW mengundang sanggar tari
kami, dan bicara langsung padaku untuk menunjukkan bakatku sebagai anak seorang
RT?” Ucapnya dengan kekesalan.
Sejak tadi pagi, Arlena
yang biasa disapa Lena itu sibuk mengomeli diri sendiri dengan mengilas
balikkan kronologi yang terjadi satu persatu dengan pertanyaan mengapa dan mengapa. Isak tangis anak sulung itu memecah keheningan senja.
Arlena : “Mengapa
saat itu abah tak sibuk mengantarku seperti biasanya. Mengapa waktu itu, emak
juga sibuk mengolah pesanan kue dan malah meminta bantuan Amirna bukannya aku?”
Tuturnya penuh rengekan.
Tak lama, Bujang telah
kembali setelah seharian sibuk mencari pekerjaan. Ia pulang dengan wajah
kesalnya karena melihat sang isteri menangis.
Bujang : “Kau
menangis?” Bentaknya. Apa lagi yang harus ditangisi. Tenang sajalah, sebentar
lagi aku pasti mendapatkan pekerjaan. Biar dulunya aku bandel, tapi aku bisa bekerja. Aku bisa bertukang karena bapakku
seorang tukang. Aku paham listrik akibat pernah diajari cara mencuri listrik
PLN. Aku bisa jadi supir karena pernah ngamen
di bus-bus antarkota, dan diajari teman supir bus mengemudi bus untuk
menggantikannya ketika mengantuk. Kau tenang sajalah.” Jelas Bujang dengan
penuh emosi kepada Arlena.
Arlena : “Memang,
memang bisa. Tapi predikatmu itu tak satupun bisa kau buktikan. Lantas,
bagaimana pertanggungjawabanmu sebagai seorang suami untuk menafkahiku?” Tutur
Arlena penuh emosi.
Bujang : “Baru
sebulan kita menikah, berani kau berteriak padaku? Sekarang kau istriku, susah
payah hidupku, harus bisa kau menerimanya. Siapa suruh kau angkuh dulu padaku!
Aku telah bertahun-tahun mengagumimu dengan cara yang terhormat, tapi apa
balasanmu! Jadi sekarang rasakanlah.” Ucap Bujang dengan lantang, penuh emosi
dan kepuasan.
Arlena : “Bagaimana
bisa aku luluh dengan rasa kagummu yang gila?”
Lena tak mau kalah. “Bagaimana bisa aku jatuh hati pada lelaki yang tukang buat
onar satu kampung, tukang mabuk, tukang kelahi, pernah ketahuan mencuri infaq
masjid pula! Tak kau pikirkan itu!!! Tutur Arlena penuh emosi.
Bujang : Bujang
makin naik pitam, disentuhnya dagu lena dan berkata, “Hai gadis, kembang desa,
hati-hati kalau bicara padaku! Tak ada urusannya tingkahku itu sama perasaanku
yang terus berkembang mencintai anak Pak RT yang ayu, pintar, dan piawai
menari. Aku cuma minta kau hargai.” Jelas Bujang dengan pelan.
Arlena : Terdiam,
dan terisak akibat kebanyakan menangis, lalu menyahut pelan. “Kau tak pernah
tahu bagaimana sosok yang diidamkan seorang gadis.”
Bujang : Tertawa
dan mengitari duduknya Lena.
“Ha..Ha..Ha.. Lena, Lena.” Sesaat ia memandang
wajah ayu itu, lalu berkata “Aku mencintaimu Lena, dari ujung rambut sampai
ujung kaki. Aku mencintaimu dari utara ke selatan, dari timur ke barat. Aku
mencintaimu dari apapun yang ada di muka bumi ini. Lantas, apalagi yang
kurang?” Ucapnya dengan lantang.
“Aku tahu persis yang diidamkan seorang gadis
tentu lelaki yang tampan, yang mapan, yang sopan, yang cendekiawan, yaannnggg
itulah pokoknya. Karena tak satupun kriteria itu melekat padaku, maka malam
petaka itu terjadi Lena. Kau ingat bukan? Ingatkah sayang?” Tanya Bujang dengan
bangga.
Arlena : “Aku
tak peduli apapun yang kau katakan Bang. Cepat kau pergi dan belikan anakmu
yang ada di dalam rahimku ini makanan. Aku laaparr! Ucap Lena tepat di telinga
suaminya sembari menuju kamar mandi untuk cuci muka.
Bujang tak menjawab, ia
bungkam, ia heran dengan sifat Lena yang dulu pendiam, kini menjadi pelawan dan
pemberontak. Namun, bergegas ia pergi membeli makanan untuk istri yang
dicintainya itu.
***
ADEGAN
II
Terduduk di ruang tamu
seorang tua yang telah ditinggal anak kesayangannya, Amiru. Terlihat letih air
mukanya karena seharian mengais rezeki dan mondar-mandir kantor kelurahan demi
mengurus masalah korespondensi warga RT 01 RW 01. Kemudian, Aida istrinya Amiru
yang biasa disapa Emak, menghampiri sembari membawakan secawan teh hangat
dengan sedikit gula kegemaran Amiru.
Emak : “Diminum pak.”
Sapanya dengan lembut.
Abah : “Iya bu.” Jawab
Amiru sambil bersandar di sandaran kursi.
Emak : “Dari mana saja tadi
pak? Seharian banyak warga bertandang hendak meminta tanda tanganmu. Entah
surat apa yang mereka bawa itu.”
Abah : “Aku kerja setengah
hari tadi Bu, lalu ke kantor lurah untuk menghadiri undangan rapat bersama pak
lurah. Kemudian ke rumah pak RW untuk memberikan laporan bulanan.” Jelas Amiru
pada Aida dengan pelan-pelan.
Kemudian
Amiru menghela napas, kembali teringat pada Arlena.
Abah : “Bu, kau yang
melahirkan anak pertama kita. Lantas, tak pernah kudengar keluhanmu akan
kerinduan padanya.” Tutur Amiru sedikit heran.
Emak : “Pak, Pak. Cukup
Allah sajalah yang tahu bagaimana hancurnya hatiku. Tak mau juga aku berkeluh
kesah padamu. Justru hanya mendatangkan penyakit jantungmu, dan aku belum siap
kerepotan untuk itu.” Jawab Aida.
“Sudahlah
pak, mari kita sama-sama ikhlaskan yang telah terjadi.” Tutur Aida menenangkan
suaminya.
Amiru diam.
Emak : “Ya sudah, bapak
minum dulu teh nya, selesai itu lekaslah mandi. Aku siapkan air hangat
untukmu.” Ucap Aida lembut.
Abah : “Iya Bu.”
Amiru kembali termenung. Dipandangnya
foto Arlena yang terpajang rapi di sudut meja persis di sebelah telepon rumah.
Ada 2 foto tegak disana, hanya saja Amiru mengkhusyukkan pandangannya pada foto
Arlena. Lama ia melamun. Kemudian, tergerak langkahnya menyambangi foto itu,
dipegangnya dengan erat.
Monolog
A nak ku, Arlena
Malang merundung nasib
Diluar sangka
Masih tak siap, sejujurnya
kau masih terlalu ranum, untuk
mematangkan usiamu disana
Namun, aku masih menjadi ayahmu
sampai mati
Jangan layu dulu wahai bungaku
Teruslah mekar dan memunculkan
putik-putik baru
Lalu tunduk dan patuh pada tanah
pendirianmu
Maafkan ayah nak, yang tak
menjagamu
Waktu itu
Amiru begitu menyesali
semua ini. Namun apa harus dikata, nasi telah menjadi bubur. Padahal tak luput
perhatiannya pada Arlena. Sejak kecil, ia mendidiknya dengan penuh kasih,
menyanyikan lagu dalam malam-malam menjelang tidurnya. Mengajarkannya duduk,
merangkak, berdiri, hingga berlari. Memasukkannya ke sanggar seni dan tari,
karena itu yang digemari. Mengantarnya sekolah setiap pagi. Menemaninya
mengerjakan tugas untuk keesokan hari. Hingga tumbuhlah Arlena menjadi sosok
wanita remaja yang lembut dan bercita-cita tinggi. Namun, nasib tak menyetujui.
Kini, ia hanya bisa menyesali diri.
***
ADEGAN
III
Arlena masih pada
rutinitas hariannya, uring-uringan di rumah. Namun, secara perlahan ia
mempelajari tugas pokok dan fungsi ibu rumah tangga, seperti memasak, mencuci
dan menyetrika pakaian, merapikan rumah, dan lain sebagainya. Hingga detik itu
Arlena juga masih belajar menerima keadaan ini. Ia teringat, bahwa hari ini
tepat dua tahun kepergian Askar Suwanda, cinta pertamanya sampai saat ini.
Lelaki itu tengah berjuang di Universitas Riau untuk memeroleh gelar Strata 1
jurusan hukum yang begitu diminatinya. Arlena yakin, Askar tentu telah
mengetahui berita pernikahannya dengan Bujang, apalagi orangtua Askar adalah
tetangga lima rumah dari sebelah kanan rumah Bujang di kampungnya. Arlena yang
duduk santai sembari mengkhayalkan Askar Suwanda di ruang tengah rumah
kontrakan itu sontak kaget dengan ketukan pintu yang menyapa dengan salam.
Makcik Ijah : “Assalammualaikum.
Ade orang tak di dalam?” Ucap Makcik dengan setengah berteriak.
Arlena kebingungan.
Arlena : “Hmm,
Waalaikumsalam Makcik. Ada, saya di rumah.” Sahut Arlena sembari menuju pintu
utama dan membukanya. “Iya Makcik, ada apa?” Tanya Arlena agak gugup.
Makcik Ijah : “Mana
laki engkau? Aku mau bicara pasal rumah yang kalian huni ini, agaknya tak
berhak kalian berlama-lama disini.” Tutur Makcik Ijah dengan emosi.
Arlena : “Suami
saya sedang bekerja Makcik. Senja nanti sekitar pukul lima atau boleh jadi
lebih sedikit, barulah ia pulang.” Jawab Arlena tenang.
Makcik Ijah : “Aihhh,
laki engkau itu payah. Bulan lalu dia janji akan bayar sekalian dengan bulan ini.
Sekarang aku sudah datang, mengelak pula untuk bertemu.
Aiihhh, siapa namamu? Kau sedang hamil berapa
bulan?”
Arlena : “Nama
saya, Arlena, Makcik. Boleh disapa Lena. Ini jalan bulan keenam Makcik.” Jawab
Arlena pelan.
Makcik Ijah : “Lena,
tak tega pula aku menagih pada ibu hamil. Tapi perlu kau sampaikan pada suamimu
akan kedatanganku hendak menagih janjinya yang tertunggak 2 bulan. Kau paham
kan?” Ucap Makcik tegas dan garang.
Arlena : “Iya
Makcik. Saya paham. Pasti saya sampaikan pada Bujang.” Jawabnya.
Makcik Ijah : “Baiklah.
Makcik pamit dulu.” Tutur Makcik dengan ramah.
Arlena : “Terima
kasih sangat Makcik.” Sahut Lena sembari menggapai tangan Makcik hendak
mengajak berjabat.
Makcik
Ijah pun berlalu dari pandangan Arlena. Segera ditutupnya pintu itu
rapat-rapat, berharap tidak ada lagi orang yang datang. Ia kembali duduk,
hendak mencari nomor kontak abah di ponselnya. Namun, banyak pikirnya hingga
gagal ia menelpon orang tuanya itu. Tidak lama, Bujang pulang dengan
sempoyongan kelihatan seperti mabuk berat.
Bujang : “Lena...
Lenaaa...” Berjalan sempoyongan menuju Arlena, namun seketika terjatuh tepat
dihadapannya.
Arlena bergegas
membangunkan suaminya yang setengah sadar.
Arlena : “Bang..
Ya ampun bang. Tega nian, engkau pulang dalam keadaan begini. Aku tengah
bersusah payah mengandung anakmu. Teganya kau Bang.”
Bujang lemas, ia
mendengar Arlena. Namun matanya sayup-sayup.
Arlena : “Ah,
kalau tiada perubahanmu. Cukuplah aku hidup begini Bang. Aku mau pulang ke
rumah emak.” Ucapnya sambil menangis.
“Mengapa kau tak kunjung berubah?!! Tadi Makcik
Ijah sudah bertandang menagih janjimu untuk membayarkan hutang rumah kontrakan
ini. Lekas kau tepati janjimu!” Tuturnya penuh emosi.
Bujang sudah pasrah
dengan kondisi mabuknya. Arlena meninggalkan Bujang terbaring di tengah ruangan
itu. Dibiarkannya. Ia segera berkemas, hendak kabur dari kehidupan ini.
Dimasukkan semua barang bawaannya semula. Lalu beranjak, dan meninggalkan
Bujang terbaring di lantai.
***
ADEGAN
IV
Arlena benar-benar
pergi dari rumah kontrakan itu. Ia menyusuri gang-gang kecil, sampai pada jalan
besar. Ia bingung. Persediaan uangnya terbatas untuk pulang ke kampungnya.
Namun, ia memaksakan diri. Menantang matahari, mengenakan pakaian seadanya,
disertai riasan wajah yang begitu alami.
Inginku,
jauh terbuang
Berserakan
dengan harapan palsu alam mimpi
AKU,
kata MEREKA
MEREKA,
kataku
Dan
nasib adalah suratan tangan
Yang
mesti diterima karena setianya insan
***
ADEGAN
V
Arlena tiba di
rumahnya. Masih belum banyak perubahan yang terjadi di Kampung Bulang itu.
Abahnya, Amiru tengah duduk di beranda rumah sambil membaca koran. Arlena
bergegas menghampirinya.
Arlena : “Abah... Aku pulang.”
Ucap Arlena tepat di depan Abah.
Abah : Tertegun, tak
menyangka. “Lena...” Tutur Abah.
Arlena : “Assalammualaikum,
Abah.” Sapa Arlena sembari mencium tangan Abah.
Abah : “Waalaikumsalam,
Nak.” Jawab Abah penuh haru dan sedih. “Mengapa kau pulang?” Tanya Abah kepada
anak sulungnya itu. “Suamimu?” Tanya Abah.
Arlena : “Abah jangan sedih.
Tidak mengapa Bah. Aku muak dengan tingkahnya yang tak kunjung berubah.” Jawab
Arlena.
Emak sedang membuat minum untuk
Abah, beranjak ke depan karena mendengar suara Arlena. Begitu melihat Emak,
Arlena segera memeluk dan mencium tangan Emak.
Emak : “Anakku..” Tutur Emak.
“Bagaimana bisa kau pulang tanpa suamimu?” Tanya Emak.
Arlena : “Ia belum berubah Mak,
aku tak kuat lagi.” Jawab Arlena.
Monolog
Aku
pulang. Hari ini aku pulang. Pernahkah kalian pulang?
Atau
setidaknya kalian merasakan rindu yang menggebu untuk pulang?
Damainya
suasana ketika pulang
Eloknya
paras perkampungan
Dan
aku pulang, disambut oleh ribuan bintang
Menyelimuti
malam kepulanganku dengan sinar yang terang
Aku
bahagia karena bisa pulang untuk berkumpul dengan orang tersayang
Arlena
memutuskan untuk lari dari kehidupannya bersama Bujang. Kini, ia menjalani
kehidupan bersama orang tuanya sampai pada proses melahirkan. Bujang malu untuk
menjemput Arlena di rumah mertuanya itu. Setahun membesarkan anak seorang diri,
Arlena mengajukan talak pada Bujang karena ia dilamar oleh Askar Suwanda yang
telah selesai menamatkan gelar sarjana. Askar juga menaruh hati teramat dalam
pada Arlena, untuk itu ia menerima kondisi Arlena sebagai seorang janda.
***
ADEGAN
VI
Di satu sisi, Bujang
merana dalam kesendiriannya. Ia hampir setengah gila akibat ditinggalkan
Arlena.
Bujang : Bujang tersadar dari
mabuknya. Ia segera mencuci muka. Ia menyebut nama dan memanggil-manggil nama
istrinya. “Lena, buatkan abang kopi.” Suruhnya kepada istrinya.
Aiii
Lena, tega betul engkau tinggalkan abang
Tengoklah
Lena, rumah sudah macam kapal pecah
Apa
jadinya abang kalau kau tinggal
Teganya
engkau Lena
Abang
menyesal Lena
Dan
inilah hidup
Cinta
yang dipaksakan
Hidup
yang tak ada perubahan
Akan
berujung kesengsaraan
Inilah akhir kisahnya.
Kisah pelakon dalam lakon sementara. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Silap
dan salah, niat maaf kami memintanya. Terima kasih bagi hadirin, yang setia
menyaksikan seni teater dari kami, SMK Kolese Tiara Bangsa.
SEKIAN
Comments
Post a Comment
BC Adetya Rakasihwi - tidak bertanggung jawab atas isi komentar yang ditulis. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE